Literatur Fiqh dalam Madzhab Syafi’i
Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lainnya, madzhab Syafi’i tentu
merupakan madzhab yang paling banyak buku-buku fiqhnya. Dalam
maktabah-maktabah, kemungkinan besar buku-buku madzab fiqh Syafi’i ini
menghabiskan setengahnya bahkan lebih dari isi maktabah tersebut.
Banyaknya buku-buku ini, adalah berkat kejuhudan murid-murid dan ulama
Syafi’iyyah. Juga karena buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini satu sama lain
ditulis dengan saling mengacu pada kitab sebelumnya, sehingga berkaitan dan
bersambung.
Buku pertama dalam madzhab Syafi’i adalah kitab al-Umm karya Imam
Syafi’i (w 150H) sendiri. Pada masa berikutnya, buku al-Umm ini diringkas oleh
muridnya yang bernama Imam al-Muzani (w 264 H) dalam bukunya berjudul
Mukhtashar al-Muzani. Tidak lama kemudian, buku Mukhtashar al-Muzani ini
disyarah oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) dalam Nihayatul Mathlab fi
Dirayah al-Madzhab. Selang beberapa lama karya Imam Juwaini ini diringkas oleh
muridnya Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam bukunya al-Basith. Tidak puas dengan
al-Basith, Imam Ghazali meringkasnya menjadi al-Wasith, kemudian al-Wasith
diringkas juga dalam bukunya yang lain berjudul al-Wajiz dan terakhir, buku
al-Wajiz ini diringkas lagi dalam bukunya al-Khulashah.
Imam ar-Raf’i (w 624 H) meringkas al-Wajiz karya Imam al-Ghazali tadi
menjadi al-Muharrar. Selang beberapa lama, Imam Nawawi (w 676 H) meringkas buku
al-Muharrar dalam karyanya Minhajut Thalibin yang kemudian menjadi pegangan
utama para ulama Syafi’iyyah dalam berijtihad dan berfatwa. Kemudian, buku
Minhajut Thalibin ini diringkas oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam
bukunya al-Manhaj. Buku al-Manhaj ini lalu diringkas oleh Imam al-Jauhari
menjadi an-Nahj.
Imam ar-Rafi’i juga mensyarah kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali dalam
dua buah karyanya yakni asy-Syarh as-Shagir, dan asy-Syarh al-Kabir yang diberi
nama dengan al-’Aziz. Kemudian Imam Nawawi meringkas buku al-Aziz karya Imam
Rafi’i tadi menjadi ar-Raudhah (lengkapnya Raudhatut Thalibin wa Umdatul
Muftin), lalu Ibnu Maqarra meringkas ar-Raudah menjadi ar-Raud. Imam Zakaria
al-Anshari kemudian mensyarah buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul al-Asna.
Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) meringkas buku ar-Raud ini dalam
karyanya berjudul an-Na’im. Kitab ar-Raudhah juga diringkas oleh Ahmad bin Umar
al-Muzjid az-Zabidi dalam karyanya berjudul al-’Ibab, kemudian Ibn Hajar
al-Haitami mensyarahnya menjadi al-Ii’ab hanya saja tidak sampai akhir.
Imam Suyuthi (w 911 H) meringkas kitab ar-Raudah ini dalam karyanya
berjudul al-Gunyah, dan mengumpulkannya menjadi kumpulan nadham dalam karyanya
berjudul al-Khulashah, akan tetapi tidak sampai selesai.
Imam al-Qazuwaini meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i dalam
karyanya berjudul al-Hawi ash-Shagir, kemudian dikumpulkan dalam nadham-nadham
oleh Ibn al-Wardi dalam karyanya berjudul al-Buhjah. Lalu kitab al-Buhjah ini
disyarah oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dengan dua syarah (hanya tidak
disebutkan nama syarah ini).
Ibnu al-Maqarri meringkas buku al-Hawi ash-Shagir menjadi al-Irsyad.
Al-Irsyad ini disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam dua syarah. Setelah masa
Ibnu Hajar al-Haitami ini baru bermunculan buku-buku berupa hasyiyah dari
kitab-kitab sebelumnya.
Tampak kesinambungan buku-buku fiqh madzhab Syafi’i ini antara satu
dengan yang lainnya. Inilah yang menyebabkan buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini
menjadi lebih banyak bila dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya. Hal ini
juga menjadikan cara penempatan bab-bab fiqh dalam buku-buku fiqh Syafi’i
menjadi hampir sama. Misal, pembagian bab-bab yang disusun dalam kitab al-Umm
hampir sama penempatannya dengan buku Minhajut Thalibin atau syarahnya.
Berikut adalah urutan sejarah kitab-kitab madzhab Syafi’i. Dari sejarah
perkembangan madzhab Syafi’i, kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i dicoba dibagi ke
dalam tujuh kelompok.
Ketujuh pengelompokan dimaksud adalah:
1.
Karya-karya Imam Syafi’i
2.
Karya-karya Ulama Syafi’iyyah generasi pertama
3.
Karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua
4.
Karya-karya yang berkaitan dengan fiqih muqaran
5.
Karya-karya yang membahas tema-tema tertentu dan khusus
6.
Karya-karya yang tidak termasuk salah satu dari lima kelompok di atas
7.
Karya-karya Madzhab Syafi’i belakangan
Berikut ini penjelasannya,
1)
Karya-karya Imam Syafi’i.
Berikut ini karya-karya Imam Syafi’i yang disusun ketika beliau berada
di Mesir:
1.
Kitab al-Umm
2.
Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wabni Abi Laila
3.
Kitab Ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas’ud
4.
Kitab Ikhtilaf Malik was Syafi’i
5.
Kitab Jima’il ‘Ilm
6.
Kitab Bayan Faraidhillah
7.
Kitab Shifati Nahyi Rasulillah
8.
Kitab Ibthalil Istihsan
9.
Kitab ar-Radd ‘Ala Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany
10.
Kitab Siyaril Auzai.
Semua karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah penulis sebutkan di
atas, telah ditahkik (diberi catatan kaki) dengan sangat bagus dan lengkap oleh
DR. Ahmad Badruddin Hasun dengan judul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i . Buku
tahkiknya ini awalnya adalah risalah Dukturah beliau yang diajukan ke Jami’ah
Islamiyyah di Karachi Pakistan.
Buku ini dicetak pertama kali oleh Dar Qutaibah di Beirut pada tahun
1996 dalam 15 Juz yang dikumpulkan dalam 10 Jilid besar. Menurut penulis asli
artikel ini, buku tahkikan DR. Ahmad Badruddin Hasun ini adalah yang paling
baik dan paling lengkap dalam segi tahkikan dan kekayaan maklumat yang
dikandungnya.
Untuk mengetahui dalil-dalil di dalam kitab al-Umm ini, ada kitab, yakni
Ma’rifatus Sunan wal Atsar karya Imam al-Hafidz al-Baihaqi. Kitab ini sangat
berguna untuk mengetahui dalil-dalil Imam Syafi’i terutama dalil-dalil dari
Sunnah dan Atsar serta bagaimana kedudukan haditsnya dan sanadnya.
Kadang-kadang dalam kitab al-Umm sendiri tidak disebutkan dalilnya, tapi
langsung ke hukumnya. Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut dengan
muhakik Sayyid Karwi Hasan.
2)
Karya-karya Tokoh Ulama Syafi’iyyah generasi
pertama setelah Imam Syafi’i
Yang dimaksud dengan tokoh Syafi’iyyah generasi pertama di sini adalah
untuk menyebut dua imam besar madzhab Syafi’i yakni Imam Rafi’i (557-623H) dan Imam
Nawawi (631-676 H).
Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan
sangat penting, bahkan terpenting setelah karya-karya Imam Syafi’i. Ketika
seseorang ingin mengetahui pendapat ulama madzhab Syafi’i (bukan pendapat Imam
Syafi’i ) tentang sebuah masalah, maka karya-karya dua imam ini dapat
mewakilinya.
Di sini, apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak ada beda pendapat
dalam satu masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang
abash sebagai madzhab Syafi’i.
Namun, apabila antara Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi berbeda pendapat
dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, dan antara
keduanya sama kuat, maka yang harus didahulukan adalah pendapatnya Imam Nawawi.
Mengingat pentingnya karya-karya dua imam dimaksud, berikut ini
diketengahkan karya-karya keduanya.
A.
Karya-karya Imam Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i
1)
Kitab al-Muharrar. Buku ini sampai saat ini masih berbentuk makhtutat,
manuskrip dan belum ditahkik serta belum dicetak. Barangkali di antara sebab
belum ditahkik dan belum dicetaknya, lantaran sudah terwakili oleh buku Minhajut
Thalibin yang merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar tersebut.
2)
Kitab asy-Syarhus Shagir. Buku ini merupakan syarah terhadap buku Imam
al-Ghazali yang berjudul al-Wajiz. Buku ini, sudah ditahkik oleh mahasiswa
magister Jami’ah al-Jinan al-Lubnaniyyah, hanya saja sampai saat ini belum
dicetak.
3)
Kitab al-Aziz Syarh al-Wajiz atau asy-Syarh al-Kabir. Buku ini merupakan
buku terpenting dan terbesar dari karya Imam Rafi’i. Buku ini merupakan syarah
dari buku al-Wajiz karya Imam al-Ghazali, dengan syarah yang sangat luas dan
panjang.
Dalam penjabarannya, Imam Rafi’i dalam buku ini terlebih dahulu
menjelaskan persoalan, kemudian kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’i serta
pendapat para ashhabnya, kemudian diakhiri dengan pemilihan mana yang dipandang
sebagai madzhab Syafi’i.
Buku ini ditahkik oleh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad
serta dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah pada tahun 1997.
B.
Karya-karya Imam Nawawi
Imam Nawawi mengarang banyak buku fiqh dalam Madzhab Syafi’i. Sementara
buku-bukunya yang masih ada yang dipandang sangat penting, adalah:
1)
Kitab Minhajut Thalibin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku
al-Muharrar karya Imam Rafi’i. Buku Minhajut Thalibin ini dinilai buku yang
sangat penting bahkan terpenting di antara buku-buku periode pertama Madzhab
Syafi’i.
Umumnya, buku ini menjadi rujukan utama para ulama Syafi’iyyah dalam
menetapkan sebuah persoalan. Oleh karena itu, buku ini mempunyai syarah dan
hawasyi yang sangat banyak. Di antara syarah terhadap buku ini adalah Mughnil
Muhtaj karya al-Khatib asy-Syarbini, al-Manhaj wa Syarhuh karya Syaikhul Islam
Zakaria al-Anshari, Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan Nihayatul Muhtaj
karya Imam ar-Ramli.
2)
Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin. Buku ini merupakan ringkasan dari
buku al-Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam Rafi’i. Buku ini lebih tebal dari pada
buku Minhajut Thalibin di atas.
3)
Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Buku ini merupakan buku terbesar dan
terpenting dari karya Imam Nawawi. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Muhadzab
karya Abu Ishak as-Syairazi (w 476) sekaligus sebagai buku syarah paling
terkenal dan paling bagus dari pada syarah-syarah al-Muhadzab lainnya. Buku ini
sangat tebal terdiri tidak kurang dari 30 jilid lebih.
Dalam buku ini Imam Nawawi bukan semata mengungkapkan pendapat Madzhab
Syafi’i, akan tetapi juga membandingkannya dengan madzhab-madzhab lainnya yang
tentunya disertai dengan munaqasyah dan rad-rad tajam.
Hanya saja, Imam Nawawi meninggal sebelum beliau menyelesaikan buku
al-Majmu ini. Imam Nawawi menulis buku ini hanya sampai pada Bab Riba dari
Kitab al-Buyu’. Kemudian Imam Taqiyuddin as-Subuki (w 756) mencoba
melengkapinya, namun juga keburu meninggal. Beliau hanya dapat melengkapi
sekitar tiga jilid saja. Beberapa ulama lain yang melengkapi buku al-Majmu’ ini
adalah al-Allamah Isa bin Yusuf Mannun (w 1376 H) dan Muhammad Najib al-Muthi’i
(w 1406 H). Buku al-Majmu’ ini adalah buku terakhir Imam Nawawi.
Meski demikian, para ulama Syafi’iyyah berikutnya dalam menetapkan
sebuah persoalan lebih banyak berpegang kepada Minhajut Thalibin dan Raudhatut
Thalibin dari pada kepada al-Majmu’. Hal ini barangkali di antaranya disebabkan
bahwa kitab al-Majmu’ ditulis bukan oleh Imam Nawawi secara lengkap, akan
tetapi juga ditulis oleh ulama-ulama lainnya sebagaimana telah disebutkan di
atas.
4)
Syarah Shahih Muslim. Imam Nawawi juga mensyarah kitab Shahih Muslim dalam
karyanya berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hijaj. Buku ini dinilai
sebagai buku syarah terpenting dan terbaik juga lebih terkenal dari pada
syarah-syarah lainnya terhadap Shahih Muslim. Buku ini dicetak beberapa kali
cetakan dan oleh beberapa penerbit.
Ada yang dicetak oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi yang berikan nomor
oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi’, ditahkik oleh Syaikh Irfan Hasunah dan
diberi kata pengantar oleh DR Muhammad al-Mar’isyli.
Bagaimana cara mentarjih antara aqwal dalam madzhab Syafi’i
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa pendapat Imam Syafi’i
(al-aqwal) terkadang lebih dari satu demikian juga dengan pendapat para ulama
Syafi’iyyah generasi awal (al-aujuh). Untuk itu, dibutuhkan upaya tarjih di
antara pendapat-pendapat tersebut.
Upaya untuk mentarjih aqwal tersebut telah dilakukan oleh dua Imam besar
yakni Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Berikut penuturan Imam Nawawi dalam
mukaddimah kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, mengenai metode tarjih yang
dipakainya apabila terjadi perbedaan di antara aqwal tersebut:
1.
Pendapat Imam Syafi’i yang tidak bertentangan dengan dalil baik pendapat
lama (al-qaul al-qadim) maupun pendapat baru (al-qaul al-jadid) adalah yang
diambil sebagai pendapat Madzhab Syafi’i .
2.
Qaul Jadid Imam Syafi’i dipandang sebagai Madzhab Syafi’i apabila secara
terang-terangan bertentangan dengan qaul qadim. Namun, apabila qaul jaded tidak
bertentangan dengan qaul qadim, atau tidak diketemukan pendapat Imam Syafi’i
dalam qaul jaded, maka qaul qadim itulah yang dipandang sebagai madzhab
Syafi’i.
3.
Apabila ada dua pendapat Imam Syafi’i yang sama baik dari segi baru,
lama atau dalilnya, maka ambillah pendapat yang paling akhir dari kedua
pendapat tersebut, apabila diketahui pendapat mana yang paling akhir. Namun,
apabila tidak diketahui pendapat yang paling akhir, maka ambil pendapat yang
ditarjih sendiri oleh Imam Syafi’i .
4.
Apabila pendapat-pendapat Imam Syafi’i tersebut tidak diketahui mana
yang murajjah dan mana yang murajjihnya, baik dari segi qadim jadidnya atau
dari sisi tidak ada tarjih sama sekali dari Imam Syafi’i , maka harus dicari
mana yang paling rajih dengan jalan disesuaikan dengan nash-nash dari Imam
Syafi’i lainnya, metode dan kaidah pengambilan hukumnya serta ushul-ushul yang
biasa dipakai oleh Imam Syafi’i .
3)
Karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi
kedua
Dimaksudkan dengan karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua ini
adalah masa munculnya dua Imam besar yakni Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H) dan Syamsud
Din Muhammad ar-Ramli (w 1004 H).
Besarnya sumbangsih kedua Imam ini terutama dengan syarah keduanya
terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Berikut adalah karya kedua imam dimaksud,
1.
Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Ibn Hajar
al-Haitami sebagai syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Buku ini dicetak beberapa kali dan mempunyai dua hasyiyah yaitu Hasyiyah
al-Allamah Ahmad bin Qasim al-Ubady (w 994 H) dan Hasyiyah al-Allamah Abdul
Hamid asy-Syarwany. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah
Beirut dengan muhaqiq Syaikh Muhammad Abdul Aziz al-Khalidy—dan tahkikan beliau
hemat penulis lebih bagus dan lebih lengkap.
2.
Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj. Buku ini juga merupakan syarah
dari buku Minhajut Thalibin Imam Nawawi yang ditulis oleh Imam Syamsud Din
ar-Ramly.
Buku ini juga dicetak beberapa kali serta mempunyai dua hasyiyah yakni
Hasyiyah al-Allamah Nurud Din Ali bin Ali asy-Syibramalisi (w 1087 H) dan
Hasyiyah al-Allamah Ahmad Abdur Razaq yang dikenal dengan sebutan al-Maghriby
ar-Rasyidy (w 1096 H)
Baik buku Tuhfatul Muhtaj maupun Nihayatul Muhtaj merupakan dua buah
buku yang banyak dijadikan pegangan oleh ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan
hukum sebuah persoalan atau dalam berfatwa setelah masa Imam Nawawi.
Apabila ada persoalan yang tidak dibahas di kedua kitab itu, maka acuan
diambil dari karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H), khususnya
kitab al-Manhaj yakni buku ringkasan dari Kitab Minhajut Thalibin dan buku al-Ghurar
al-Bahiyyah fi Syarh Mandhumatil Buhjah al-Wardiyyah—kedua buku tersebut telah
dicetak. Kemudian setelahnya adalah kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani
Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977) yang juga merupakan
syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin. Buku ini juga dicetak dan sangat
terkenal di kalangan madzhab Syafi’i, termasuk dijadikan referensi utama di
lingkungan Universitas al-Azhar fakultas Syariah Islamiyyah.
Setelah buku Mughnil Muhtaj, maraji’ fiqh Syafi’i berikutnya adalah
buku-buku hasyiyah (hasyiyah adalah syarah dari buku syarah) misalnya hawasyi
yang telah disebutkan di atas, juga hasyiyah Qalyuby Umairah karya Syaikh
Syihabuddin al-Qalyubi dan Syaikh Umairah yang merupakan syarah dari syarah Imam
Jalaluddin al-Mahally terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar al-Haitami
dengan Imam Syamsuddin ar-Ramli, ada perbedaan prioritas antara ulama Mesir
dengan ulama Hijaj.
Menurut ulama Mesir, maka pendapat ar-Ramli yang harus didahulukan
khususnya apa yang tertera dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj. Hal ini karena
buku tersebut telah disodorkan, dibaca, diminta kritik serta dibetulkan oleh
pengarangnya sendiri kepada 400 ulama. Sehingga dengan demikian, keabsahan buku
tersebut dapat dikatakan mutawatir dan karenanya harus lebih didahulukan dari
pada yang lainnya.
Sedangkan menurut ulama Hijaj, Hadramaut, Syam, Yaman, bahwa yang harus
diambil manakala terjadi pertentangan antara ar-Ramli dengan al-Haitami adalah
pendapat Ibn Hajar al-Haitami khususnya yang tercantum dalam bukunya Tuhfatul
Muhtaj. Hal ini dikarenakan buku tersebut mencakup juga nushush dari Imam
al-Haramain al-Juwaini.
Kedua kitab di atas dipandang telah mencukupi sebagai pegangan dalam
madzab syafi’i. Ada dua alasan penting:
1.
Banyak para ulama Syafi’iyyah setelah masa Imam ar-Ramli yang memuji
dengan sangat kehebatan dan keunggulan dua buah buku tersebut yakni at-Tuhfah
dan an-Nihayah. Sehingga para ulama Syafi’iyyah menjadikannya sebagai pegangan
utama ketika mereka berfatwa.
Salah satunya adalah al-Alamah Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi
asy-Syafi’i (w 1194 H) dalam bukunya berjudul al-Fawaid al-Madaniyyah Fiman
Yufta Biqaulihi Min Aimmah asy-Syafi’iyyah sebagaimana dikutip dalam buku
at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i karya Imam al-Baghawi (I/50-51).
2.
Kedua Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Syamsud Din ar-Ramli dalam kitabnya
at-Tuhfah dan an-Nihayah, ketika membahas masalah-masalah fiqh, seringkali
menyebut perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Disamping
karena usaha dan kejuhudan keduanya dalam menggali gagasan-gagasan dan
pemikiran fiqh Imam Nawawi dan Rafi’i tidak diragukan lagi.
Namun tentu saja tetap lebih baik jika mengkaji pula kitab-kitab Imam
Nawawi dan Imam Rafi’i.
4)
Karya-karya fiqh perbandingan (al-fiqh
al-muqaran)
Buku-buku yang membandingkan juga me-rad dan mentarjih buku-buku fiqh
madzhab lainnya, pada masa lalu disebut dengan buku yang berbicara tentang
ilmul khilaf atau dalam istilah sekarang, al-fiqh al-muqaran, fiqh
perbandingan.
Kelebihan kitab ini adalah adanya perbandingan dengan madzab-madzab
lain. Berikut ini buku-buku fiqh Muqaran yang ditulis oleh ulama madzhab
Syafi’i,
a.
Al-Hawi al-Kabir. Buku ini ditulis oleh al-Imam Ali bin Muhammad bin
Habib al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar
al-Muzani karya Imam Muzani. Buku ini merupakan syarah al-Mukhtashar yang
sangat panjang.
Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i, juga pendapat
ashshab Imam Syafi’i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab
fiqh lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Buku
ini pertama kali dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 1994 dalam
18 jilid besar dengan muhakkik Ali Muhammad Mu’awwad dan Adil Ahmad Abdul
Maujud.
b.
Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Telah dibahas.
c.
Hilyatul Ulama fi Ma’rifati Madzahib al-Fuqaha. Buku ini ditulis oleh
Imam Saifud Din Abu Bakar Muhammad bin Ahmad asy-Syasyi al-Qaffal (w 507 H).
Buku ini bukan merupakan syarah atau ringkasan dari buku-buku sebelumnya. Buku
ini dicetak oleh Maktabah ar-Risalah Amman pada tahun (cetakan pertama) 1988
yang terdiri dari delapan jilid besar-besar.
5)
Buku-buku Fiqh Madzhab Syafi’i yang berbicara
tentang bab-bab / tema-tema tertentu
Buku-buku ini adalah buku-buku madzhab Syafi’i akan tetapi hanya
membahas tema-tema tertentu dan terbatas.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku bermadzhab Syafi’i yang
membahas tema-tema tertentu.
1)
Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wal Wilayat ad-Diniyyah. Buku ini dikarang oleh
Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H).
Buku ini merupakan buku madzhab Syafi’i paling popular yang berbicara
tentang siyasah syar’iyyah. Dalam menyajikan persoalannya, Imam Mawardi dalam
buku ini mencoba mengetengahkan dengan model perbandingan (muqaranah).
Buku ini terdiri dari dua puluh bab, di antaranya menjelaskan tentang
hokum khilafah, wizarah, wilayah al-madhalim, qadha, hokum-hukum yang berkaitan
dengan fai, jizyah, kharaj dan lainnya.
2)
Giyas al-Umam fit Tiyas adh-Dhulam. Buku ini sering disingkat dengan
nama al-Giyasi. Dikarang oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) yang
dipersembahkan untuk salah seorang menteri saat itu yang bergelar Giyas
ad-Daulah Nidham al-Mulk (w 485 H).
Buku ini hampir sama dengan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Imam
Mawardi dari segi tema-tema yang dibahasnya, hanya saja buku ini lebih
menekankan pada pembahasan teori-teori khilafah Islamiyyah dan
kejadian-kejadian masa silam. Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa
penerbit, di antaranya pernah dicetak oleh Kuliyyah Syari’ah Jami’ah Qatar.
3)
Adabul Qadha. Buku ini seringkali disebut juga dengan nama ad-Durar
al-Munadhamat fil Aqdiyyah wal Hukumat. Ditulis oleh sejarawan ternama al-Qadhi
Syihabuddin Ibrahim bin Abdullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn
Abid Dam al-Hamawi (w 642 H).
Buku ini merupakan buku terpenting dalam madzhab Syafi’i yang berbicara
tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan dakwaan, bukti, saksi atau yang
sering kita kenal sekarang dengan Ilmu Beracara di pengadilan. Buku ini pernah
ditahkik oleh DR. Muhyiud Din Hilal Sarhan al-Iraqi untuk mengambil gelar
duktur di Universitas al-Azhar fakultas Syari’ah dan dicetak di Beirut dalam
dua jilid lumayan tebal.
4)
Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Fara’id. Buku ini
ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria bin Muhammad al-Anshari (w 926 H). Buku ini
sesuai dengan namanya merupakan buku yang berbicara tentang hokum warits Islam
bermadzhab Syafi’i. Dan buku ini, hemat penulis, merupakan buku yang sangat
penting dalam mengkaji Ilmu Warits. Buku ini dicetak oleh Dar Ibn Khuzaemah
Riyad, tahun 1420 H.
6)
Buku-buku Madzhab Syafi’i yang tidak termasuk
salah satu bagian dari lima kelompok sebelumnya
Buku-buku ini adalah buku-buku bermadzhab Syafi’i juga, hanya saja bukan
termasuk atau berkaitan dengan karya-karya Imam Nawawi, Imam Rafi’i atau Imam
al-Haitami dan Imam ar-Ramli, juga bukan buku-buku tentang ilmul khilaf.
Buku-buku ini sama dipandang penting, hanya tidak sepenting buku-buku
sebelumnya. Buku-buku yang termasuk kelompok ini dibagi kepada dua bagian,
yakni buku-buku yang dikarang sebelum karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi
kedua dan setelah generasi kedua.
Pertama, buku-buku yang dikarang sebelum masa ulama Syafi’iyyah generasi
kedua (sekitar setelah wafatnya Imam Syafi’i sampai abad ke-10 Hijriyyah)
adalah:
1.
Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. Buku ini dikarang oleh Imam Abu
Ishak asy-Syairazi (w 476 H). Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa
penerbit yang salah satunya dicetak oleh Darul Qalam Damaskus sebanyak enam
jilid tebal-tebal dan ditahkik oleh Muhammad az-Zuhaili.
2.
Al-Wasith fil Madzhab. Buku ini ditulis oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali
(w 505 H) yang merupakan ringkasan dari bukunya yang berjudul al-Basith dan
al-Basith ini juga merupakan ringkasan dari buku karya Imam al-Haramain
al-Juwaini yang berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Buku ini juga
telah dicetak beberapa kali di antaranya oleh Wizaratul Auqaf was Syu’un
al-Islamiyyah, Qatar pada tahun 1993 yang ditahkik oleh DR Ali Muhyiyud Din
al-Qurrah Dagi.
Kedua buku ini yakni al-Muhadzab dan al-Wasith sempat dijadikan buku
terpenting yang menjadi rujukan para fuqaha Syafi’iyyah dalam memberikan fatwa
sebelum munculnya karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Setelah muncul dua
imam tersebut, perhatian beralih kepada karya-karya keduanya, karena dipandang
lebih lengkap dan lebih mendalam.
3.
Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini juga dikarang oleh Imam
Ghazali sebagai ikhtishar atas buku sebelumnya yakni al-Wasith. Buku ini telah
dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Adil
Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.
4.
At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini ditulis oleh Imam Abu
Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Bagawi (w 516 H). Buku ini dicetak oleh Darul
Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 yang terdiri dari delapan jilid besar
dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.
5.
Ajalatul Muhtaj Ila Taujih al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam
Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali yang dikenal dengan samaran Ibn al-Mulaqqan
(w 804 H). Buku ini juga merupakan syarah Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi
dan dicetak oleh Darul Kitab Jordan dalam empat jilid besar dengan muhakkik
Ustadz Izzud Din Hisyam bin Abdul Karim al-Badrany pada tahun 2001.
6.
Kanzur Ragibin fi Syarh Minhajut Thalibin. Buku ini ditulis oleh Imam Jalaluddin
Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (w 864 H). Buku ini terkenal dengan nama Syarah
al-Muhalla ‘Alal Minhaj.
Buku ini juga dinilai sebagai salah satu buku terpenting dalam syarah
terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan senantiasa dijadikan
rujukan oleh para ulama Syafi’iyyah sebelum datangnya dua buah syarah, Tuhfatul
Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Haitami dan ar-Ramli. Begitu datang
dua syarah tersebut, buku Syarah al-Muhalla kemudian ditinggalkan dan berpaling
kepada dua syarah karya ar-Ramli dan al-Haitami.
Buku Syarah al-Muhalla ini menjadi muqarrar pada mata kuliah fiqh di
Universitas al-Azhar asy-Syarif sampai saat makalah ini ditulis. Buku ini
mempunyai dua hasyiyah, yang pertama Hasyiyah Syihabuddin Ahmad al-Burullusy
yang mempunyai nama panggilan Umairah (w 957 H) dan Hasyiyah Syihabuddin Ahmad
bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi (w 1069 H). Keduanya terkenal dengan sebutan
Hasyiyatai al-Qalyubi wa Umairah. Buku ini beberapa kali dicetak dan yang
penulis pandang lebih bagus adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdul Latif Abdur
Rahman cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam lima jilid besar-besar.
Dicetak pertama kali pada tahun 1997.
Kedua, buku-buku yang ditulis setelah masa ulama Syafi’iyyah generasi
kedua (dari tahun 1004 H-1335 H). Buku-buku yang termasuk kelompok ini adalah:
1.
Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab. Buku ini ditulis oleh
al-Allamah Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujaili yang terkenal dengan sebutan
al-Jamal (w 1204 H). Buku ini merupakan syarah dari kitab Syarah Manhajut
Thulab. Dan kitab Manhajut Thulab ini merupakan ringkasan dari buku Minhajut
Thalibin karya Imam Nawawi. Baik kitab Manhaj at-Thulab maupun Syarahnya,
keduanya ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Jadi, kitab
Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab ini merupakan buku Hasyiyah
atas kitab Syarh al-Manhaj. Buku Futuhat al-Wahab lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah
al-Jamal.
Buku ini dicetak berulang-ulang, dan yang paling baik, menurut penulis,
adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdur Razaq Galib al-Mahdi yang dicetak oleh
Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam delapan jilid tebal. Dicetak pertama kali
pada tahun 1996.
2.
Hasyiyah asy-Syarqawi. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Abdullah bin
Hijazi bin Ibrahim asy-Syarqawi (w 1226 H) yang merupakan syarah dari kitab
Tuhfatut Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab. Buku ini lebih dikenal dengan
Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Syarh at-Tahrir.
Buku Tahrir Tanqih al-Lubab merupakan ringkasan dari fiqh Syafi’i dan
kemudian buku tersebut disyarah dengan nama Tuhfatut Thulab. Baik buku Tahrir
Tanqih al-Lubab maupun buku Tuhfatut Thulab, keduanya merupakan karya Syaikhul
Islam Zakaria al-Anshari. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub
al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Syaikh Mushtafa bin Hanafi
ad-Dzahabi dalam empat jilid besar.
3.
I’anatut Thalibin. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Utsman bin Muhammad
Syatha ad-Dimyathi al-Bikry (wafat pada abad ke 14 Hijriyyah, tidak diketahui
tahun kewafatannya). Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab
Fathul Mu’in yang merupakan syarah dari Kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din.
Buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din merupakan ringkasan dari Fiqh Syafi’i .
Syarah dari buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din adalah Fathul Mu’in, dan
keduanya merupakan karya al-Allamah Zainuddin al-Mullibary (w 987 H).
Buku I’anatut Thalibin dicetak beberapa kali dan salah satunya dicetak
oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1995 dalam empat jilid besar.
4.
Tarsyih al-Mustafiidiin. Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah ringkas
yang ditulis oleh al-Allamah Alawy bin Ahmad bin Abdur Rahman as-Saqqaf al-
Makky (w 1335 H). Buku ini merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in
karya al-Mullibary—penjelasan mengenai buku Fathul Mu’in ini lihat di nomor
tiga. Buku ini dicetak oleh Maktabah al-Ghazali Damaskus dalam satu jilid.
.
7)
Karya-karya madzhab Syafi’i belakangan.
Pada bagian ini, kita akan berbicara tentang buku-buku yang ditulis
seputar fiqh Syafi’i yang berkisar antara tahun 1335 H sampai sekarang 1426 H.
Buku-buku yang berbicara tentang madzhab Syafi’i pada abad belakangan ini akan
penulis kemukakan, tentunya sepengetahuan penulis yang sangat sederhana.
Namun sebelumnya, perlu penulis kemukakan, bahwa buku-buku fiqh Syafi’i
yang ditulis belakangan ini mempunyai dua kelebihan: Pertama, bahasa dan
susunanya mudah dipahami, jelas dan padat berisi tidak bertele-tele. Kedua,
bahasan dan persoalan yang dikemukakan betul-betul yang terjadi saat ini, bukan
sesuatu yang tidak terjadi lagi. Misalnya tidak adanya bahasan tentang
perbudakan dan atau yang sejenisnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku yang termasuk kelompok
terakhir, abad belakangan, masa kini, di antaranya:
1)
Zadul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdullah
bin Hasan Ali Hasan al-Kuhaji (w 1400 H) dan merupakan syarah dari kitab
Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi yang dalam penyusunannya berpegang kepada
kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib
asy-Syarbini (w 977 H). Buku ini terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh al-Maktabah
al-Ashriyyah Beirut dengan muhakkik Ustadz Abdullah al-Anshari.
2)
Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i . buku ini ditulis
oleh tiga ulama besar Damaskus masa kini yaitu oleh DR. Mustafa Sa’id al-Khinn,
DR. Mushtafa Dibul Bugha, dan Syaikh Ali asy-Syarbiji. Buku ini selesai ditulis
pada tahun 1978 M, dan dicetak beberapa kali di antaranya oleh Darul Qalam
Damasykus pada tahun 1998 (cetakan ketiga) dan terdiri dari tiga jilid.
3)
Ad-Durar an-Naqiyyah fi Fiqh as-Sadah asy-Syafi’iyyah. Buku ini ditulis
oleh Syaikh Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, salah seorang pengawas umum al-Azhar
asy-Syarif Mesir. Buku ini ditulis untuk dijadikan muqarrar bagi siswa tingkat
Aliyah di Ma’had-ma’had al-Azhar. Buku ini teleh dicetak beberapa kali di antaranya
oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats pada tahun 1997 yang terdiri dari
empat jilid ukuran kecil.
4)
Taisir Fathil Qarib al-Mujib lit Thalib al-Azhary an-Najib fi Shurah
Sail wa Mujib. Buku ini ditulis oleh dua ulama kenamaan Mesir saat ini yakni oleh
DR. Nashr Farid Muhammad Washil, mantan mufti Jumhuriyyah Mesir sebelum Prof.
DR. Ahmad Thayyib juga ketua jurusan Fiqh Islam Universitas al-Azhar dan DR.
Abdul Hamid as-Sayyid Muhammad Abdul Hamid, dekan Ma’had I’dad ad-Du’ah di
propinsi Qana, Mesir. Buku ini ditulis juga untuk dijadikan muqarrar bagi siswa
siswi Tsanawiyyah (menengah) di seluruh ma’had al-Azhar. Buku ini dicetak oleh
al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats, Kairo pada tahun 1996 yang terdiri dari
tiga jilid kecil.
Istilah-Istilah dalam madzhab Syafi’i iyah
Para ulama Syafi’iyyah dalam buku-bukunya seringkali menggunakan
beberapa istilah khusus. Terkadang ada beberapa istilah dalam satu buku madzhab
Syafi’i yang makna dan maksudnya berbeda dengan apa yang ada dalam buku lain.
Untuk mengetahui makna dari istilah-istilah dimaksud, anda dapat
membacanya pada pendahuluan atau lembar-lembar awalnya. Biasanya di sana
terdapat petunjuk praktis untuk hal tersebut. Penjelasan istilah-istialah di
awal ini, misalnya anda dapat temukan dalam buku al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab
karya Imam Nawawi.
Berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan hampir dalam semua
buku fiqh Syafi’iyyah yang mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Di antara
istilah-istialah dimaksud adalah:
1.
Al-Aqwal. Apabila anda mendapatkan kata al-qaul atau al-aqwal dalam
buku-buku Syafi’iyyah, maka maksudnya adalah perkataan atau hasil ijtihad Imam
Syafi’i, baik dalam qaul qadimnya maupun qaul jadidnya.
2.
Al-Qaul al-Qadim, maksudnya adalah pedapat Imam Syafi’i sebelum pindah
ke Mesir baik berupa karya maupun fatwa. Di antara para periwayat qaul qadim
ini adalah Imam az-Za’farany, al-Karabisy dan Abu Tsaur. Jadi apabila anda
mendapatkan pendapat Imam Syafi’i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat
lama Imam Syafi’i (qaul qadim).
3.
Al-Qaul al-Jadid, adalah pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir, baik
berupa karya buku maupun fatwa. Murid-murid Imam Syafi’i yang seringkali
meriwayatkan qaul jadidnya ini di antaranya adalah: al-Buwaithi, al-Muzani dan
ar-Rabi’ al-Muradi.
4.
Al-Wujuh atau al-Aujuh, maksudnya adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah
berdasarkan kaidah-kaidah dan ushul Imam Syafi’i . Menurut Imam Nawawi, bahwa
al-aujuh ini tidak dapat dinisbahkan kepada Imam Syafi’i , lantaran ia hanya pendapat
ulama Syafi’i yyah saja.
5.
At-Thuruq adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyyah
dalam meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut
satu ulama Syafi’iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut
ulama yang lain, hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa
aujuh dan lainnya, maka perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.
6.
Al-Adhhar, adalah pendapat yang paling rajih dari dua atau beberapa
pendapat Imam Syafi’i .Jadi al-adhhar digunakan manakala ada dua atau beberapa
pendapat Imam Syafi’i yang sama-sama kuatnya dari segi kekuatan dalilnya, akan
tetapi salah satunya dapat ditarjih sehingga dipandang sebagai lebih kuat dari
yang lainnya. Pendapat Imam Syafi’i yang dipandang lebih kuat ini disebut
dengan al-adzhar, sedangkan pendapat sebaliknya yang tidak kuat disebut dengan
ad-dhahir.
7.
Al-Masyhur adalah apabila terjadi perbedaan antara dua pendapat atau
lebih dari Imam Syafi’i, hanya saja perbedaan pendapatnya ini tidak kuat,
lemah, karena dari segi kekuatan dalilnya kurang memenuhi misalnya, lalu dari
beberapa pendapat tersebut ada yang dipandang lebih kuat, maka yang lebih kuat,
rajihnya ini disebut dengan al-masyhur. Sebaliknya, pendapat yang tidak kuatnya
disebut dengan al-gharib.
8.
Al-Ashah. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih
pendapat ulama Syafi’iyyah (al-aujuh), dan kedua pendapat yang bertentangan
tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih
rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak
kuatnya disebut dengan ash-shahih.
9.
Ash-Shahih. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih
pendapat ulama Syafi’i yyah (al-aujuh), namun kedua pendapat tersebut lemah
dari segi kekuatan dalilnya, maka pendapat yang dipandang paling rajih disebut
dengan ash-shahih, sementara sebaliknya, pendapat yang lemahnya disebut dengan
adh-dha’if atau al-fasid.
10.
Al-Madzhab. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama
Syafi’iyyah dalam meriwayatkan madzhab Syafi’i (ath-thuruq), namun salah
satunya dipandang sebagai yang lebih kuat, maka yang dipandang lebih kuat
tersebut disebut dengan al-madzhab.
11.
Al-Asybah. Apabila dalam satu masalah ada dua hokum yang didasarkan
kepada Qiyas, akan tetapi salah satunya illatnya lebih kuat dari pada yang
lain, maka yang lebih kuat illatnya ini disebut dengan al-asybah.
12.
An-Nash adalah pendapat yang diambil langsung dari buku-buku karya Imam
Syafi’i. Kebalikan dari an-nash adalah al-mukharraj. Al-Mukharraj adalah
pendapat yang bukan dari Imam Syafi’i akan tetapi dari ulama Syafi’iyyah.
13.
Al-Ashhab adalah para fuqaha Syafi’iyyah yang ilmunya sangat dalam dan
luas sehingga mereka dapat beristinbath sendiri dalam hokum-hukum fiqih namun
tetap berpegang kepada ushul Imam Syafi’i .
Beberapa istilah ulama Syafi’i yyah
Dalam buku-buku Syafi’iyyah, selain istilah-istilah fiqh, juga
seringkali didapatkan laqab bagi para ulamanya. Hal ini tentu dimaksudkan
selain untuk memudahkan, juga untuk menunjukkan penghormatan dan kedudukan
ulama tersebut di kalangan madzhab Syafi’i . Di antara istilah-istilah ulama
Syafi’i yyah dimaksud adalah:
1.
Al-Imam. Apabila didapatkan kata al-Imam, maka maksudnya adalah Imam
Haramain al-Juwaini (w 478 H)
2.
Al-Qadhi, maksudnya adalah al-Qadhi Husain (w 462 H)
3.
Al-Qadiyain maksudnya adalah Imam ar-Ruwiyani (w 502 H) dan Al-Mawardi
(w 450).
4.
Ar-Rabi’, maksudnya adalah ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, murid Imam
Syafi’i (w 270 H).
5.
Asy-Syarih al-Muhaqiq, maksudnya adalah Jalaluddin al-Mahally (w 864 H)
6.
Asy-Syaikhaini, maksudnya adalah Imam an-Nawawi (w 676 H) dan Imam
ar-Rafi’i (w 623 H)
7.
Asy-Syuyukh, maksudnya adalah Imam Nawawi, Imam Rafi’i dan Taqiyuddin as-Subuki
(w 756)
8.
Apabila al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H) dan Syamsuddin ar-Ramli (w 1004
H) dalam karya-karyanya mengatakan Syaikhul Islam, maka maksudnya adalah Imam
Zakaria al-Anshari (w 926 H). Namun, apabila al-Khatib asy-Syarbini berkata
Syaikhii, maksudnya adalah Syihabuddin ar-Ramli (w 957)
9.
Apabila Imam Nawawi dalam bukunya al-Majmu’ berkata al-Qaffal, maksudnya
adalah Imam al-Maruzi (w 417 H).
10.
Apabila dalam kitab al-Muhadzab disebutkan istilah Abu Hamid, maka
maksudnya adalah dua orang ulama yakni al-Qadhi Abu Hamid al-Maruzi Ahmad bin
Basyar bin Amir (w 362 H) dan asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayaini Ahmad bin
Muhammad (w 406 H).
Buku-buku yang membahas istilah-istilah fiqh Syafi’i dan laqab, kunyah ulama Syafi’iyyah
Di antara buku-buku yang merupakan ma’ajim al-musthalahat al-fiqhiyyah dalam
madzhab Syafi’i adalah:
a.
Kitab Gharib al-Alfadz Allatis Ta’malaha al-Fuqaha karya asy-Syaikh
Muhammad bin Ahmad bin al-Azhar al-Hirawy Abi Mansur (w 370 H). Buku ini
membahas maksud dari istilah-istilah sulit yang sering digunakan oleh para
Fuqaha.
b.
Tahdzib al-Asma wal Lughat, karya Imam Abu Zakariya Muhyiyud Din bin
Syaraf an-Nawawi (w 676 H). Buku ini menjelaskan istilah-istilah fiqh Syafi’i
yang terdapat dalam enam buku fiqh Madzhab Syafi’i yakni Mukhtashar al-Muzani,
al-Muhadzab, at-Tanbih, al-Wasith, al-Wajiz dan ar-Raudhah.
c.
Al-Mishbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir lir-Rafi’i, karya Abul
Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayumi (w 770 H).
Walahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment