Hukum Bunga dalam KPR (Kredit Pemilikan Rumah)
Seseorang yang tidak mampu membeli rumah secara tunai, biasanya akan membelinya secara kredit lewat Bank, karena Bank biasanya memiliki produk kredit yang bisa dimanfaatkan untuk membeli rumah. Nama produk ini adalah KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Gambarannya adalah jika harga rumah tersebut adalah Rp 140 juta, maka orang tersebut harus harus membayar dulu berapa persennya, umpamanya membayar dulu 60 juta cash. Pembayaran ini oleh pihak Bank Konvensional dianggap sebagai uang muka (Down Payment = DP). Kekurangannya sebesar 80 juta terpaksa dia meminjam ke bank. Bank Konvensional langsung membayarnya ke developer rumah. Hutang tersebut harus dia bayar ke pihak Bank secara berangsur. Cara menghitung cicilan adalah dengan cara melihat berapa besar hutangnya, lalu setiap bulan ditambah dengan bunga sekian persen. Bulan depannya begitu juga seterusnya, setiap ada sisa hutang langsung ditambah bunga sekian persen. Dan begitu seterusnya sampai lunas. Umpamanya dia harus membayar 80 juta itu selama 15 tahun, setelah dihitung-hitung, maka setiap bulannya dia harus membayar 1 juta. Sehingga kalau dikalkulasikan berarti dia harus membayar ke bank sebanyak 180 juta. Itupun bisa berubah-rubah tergantung pada naik-turunnya suku bunga.
Transaksi seperti ini termasuk bagian dari riba yang diharamkan oleh Islam. Karena dia meminjam uang ke bank sebanyak 80 juta dan harus mengembalikannya sebanyak 180 juta, atau bahkan lebih. Dalam konsep Islam orang yang meminjam 80 juta, maka yang dikembalikan juga harus 80 juta. Inilah yang dimaksud dengan istilah Qardhun Hasan (Pinjaman yang Baik) karena memang pinjaman itu pada dasarnya adalah untuk membantu, bukan untuk mencekik. Berbeda dengan yang dilakukan Bank sebagaimana dalam kasus KPR, secara lahir, kelihatannya Bank sebagai pihak yang membantu, tetapi pada hakekatnya bank hanya ingin mencari untung. Kalau begitu bagaimana solusinya yang halal, jika kita memang butuh kepada rumah tersebut sedang uang muka tidak mencukupi?
Ada beberapa solusi, diantaranya adalah kita meminjam uang untuk membayar kekurangan tersebut kepada pihak tertentu yang mau meminjamkan uang tanpa bunga. Jika tidak mendapatkannya, maka kita bisa pergi ke Bank Syari’ah. Di Bank Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah Arabnya adalah (Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’). Mekanismenya adalah kita memesan pada Bank Syari’ah agar membelikan rumah yang kita inginkan dari developer. Kemudian pihak Bank Syari’ah membeli rumah tersebut dari developer, lalu Bank Syari’ah tadi menjual lagi rumah tersebut kepada kita dengan cara mencicil. Biasanya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga beli dari developer.
Di Bank Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah Arabnya adalah (Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’)
Tetapi setelah dihitung-hitung ternyata harganya hampir sama atau bahkan lebih tinggi dari pada harga jika kita berhutang lewat Bank Konvensional dengan program bunga KPR. Kalau begitu apa bedanya membeli lewat bunga KPR dengan membeli lewat Bank Syari’ah, jika akhirnya harga yang harus dibayar sama?
Kalau kita mau meneliti dengan seksama, antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang menyolok, diantaranya:
Pertama: Dalam bunga KPR, pihak Bank Konvensional hanya meminjamkan uang dan tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya. Sedang cara yang kedua, status Bank Syari’ah adalah sebagai pedagang, karena Bank membeli langsung dari pihak developer secara penuh. Setelah rumah tersebut dibeli oleh Bank Syari’ah, secara otomatis rumah tersebut menjadi milik Bank secara penuh. Kemudian kita baru membelinya dari Bank secara berangsur. Seandainya terjadi apa-apa, seperti gempa atau banjir sehingga rumah tersebut tiba-tiba hancur sebelum diserahkan kepada kita, maka pihak Bank yang menanggung resikonya. Berbeda dengan Bank Konvensional, yang tidak mau menanggung resiko apapun jika terjadi apa-apa, karena status rumah tersebut memang bukan miliknya.
Perbedaan:Bank Konvensional bukan pemilik rumah, sementara bank syariah sebagai pemilik rumah karena telah membelinya dari developer.Jika sebelum dibeli, rumah hancur atau rusak Bank syariah akan bertanggung jawab, ikut menanggung resiko. Berbeda dengan bank konvensional, tidak mau menanggung resiko.Transaksi di Bank Syariah adalah jual beli biasa, tidak riba. Sementara kredit rumah di bank konvensional akan terlibat riba.
Kedua: Ketika membayar cicilan di dalam Bank Konvensional kita akan terkena riba. Sedang dalam Bank Syari’ah transaksi yang dilakukan tidak melibatkan bunga, tapi jual beli biasa. Keterangannya adalah bahwa harga rumah dalam Bank Syari’ah sudah jelas, umpamanya 240 juta dengan dicicil selama sepuluh tahun. Maka tiap bulan dia membayar 2 juta, tidak berubah sampai lunas. Sedang dalam Bank Konvensional pembayaran tiap bulan disesuaikan dengan suku bunga yang naik-turun tidak karuan. Jika suku bunga bank naik, maka kredit yang sudah berjalan pun ikut disesuaikan. Sisa hutang yang masih ada akan dihitung dengan suku bunga baru yang lebih tinggi, akibatnya cicilannya jadi lebih besar.
Yang jelas, sistem yang digunakan oleh Syariah Islam jauh lebih unggul dan lebih aman, serta tidak ada pihak yang dirugikan. Dan kepada siapa saja yang sudah terlanjur membeli rumah dengan sistem bunga KPR (Kredit Pemilikan Rumah) di Bank Konvensional bisa memindahkan KPR tersebut ke Bank Syariah. Mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan-Nya yang lurus.
0 comments:
Post a Comment