Powered by Blogger.

Dia Bukan Jodohku

Angin pagi musim dingin menyapa seorang pemuda yang sedang menghafal Al-Quran dalam perjalanan. Pagi-pagi sekali setelah shalat subuh, ia sudah keluar dari flatnya di Matariah menuju Hussein. Kegiatannya dimulai dengan menyetor hafalan Al-Quran, menghadiri talaqqi di Masjid al-Azhar dan muhadharah kuliah. Selesai kuliah ia sambung lagi dengan talaqqi hingga waktu isya, kemudian berlabuh ke flat tepat pukul 12 malam. Pergi pagi pulang malam menjadi makanannya sehari-hari, kecuali hari Jum'at dan Sabtu.

Malam Jum'at adalah waktu evaluasi mingguan, tahajud dan muhasabah bagi Viki. Memohon ampunan atas dosa-dosa yang telah ia lakukan. Sesekali ia menyesali kelalaiannya dari tingkat satu sampai tiga, yang menurutnya tak ada kemajuan. Tak terbendung, air mata pun menetes lembut di atas hamparan sajadahnya. Penyesalan inilah yang membakar semangatnya menjalani sisa-sisa waktu di Kairo. Sedangkan Sabtu, hari refreshing-nya.

Sabtu ini, Viki memilih silaturrahmi ke flat abang kelasnya di Sabi'. Di sana mereka berbincang-bincang hangat, layaknya kakak beradik dalam satu keluarga. Seketika, ia teringat abang kandungnya yang begitu cuek padanya, jarang menyapanya, apalagi cerita. Kedua orangtuanya pun sudah lama meninggal sehingga membuatnya kurang merasakan kehangatan keluarga. Apalagi dalam keadaannya yang jauh seperti ini, chatting saja tak pernah.
"Ah, biarlah! dia tak mungkin berubah" teriaknya dalam hati.

Setelah lama berbincang seputar aktivitas harian, layaknya seorang pria yang berstatus kepala dua, perbincangan mulai ngawur.
"Jadi setelah Lc ini, planningnya dengan siapa?" tanya Dani, abang kelasnya.
"Maksudnya?" Viki penasaran.
"Ah, itu saja perlu penjelasan, planning nikah, Vik!" kata Dani.
"Hmm, umurku baru dua puluh tiga tahun ketika lulus, ngapain buru-buru coba? Abang yang udah dua lima, duluan dong" Viki menyindir.
"Kalo aku sih sudah terlanjur ambil S2 di al-Azhar, jadi harus fokus thesis dulu dua tahun lagi. Kalau kau kan belum terikat dengan apa pun, kesempatan!" ia menggoda.
"Kalau saja selesai itu dua tahun, kalau tidak bagaimana? mau lima tahun lagi?" Viki menahan tawa.
"Parah, bukannya doain yang bagus!"
"Laaah, itu sudah yang paling bagus lho, biar kamu cepat-cepat nikah!" ia diam, lalu melanjutkan, "Tapi menurutku, mau kasih makan apa coba istri nanti kalau nikah saat kita belum ada pekerjaan" suaranya merendah.
"Ini ni, kamu keliru, Vik. Allah telah mengatur rezeki masing-masing hamba, jadi jangan takut!" bantah Dani.

Diskusi terus berlangsung seru, banyak hikmah mengelilingi obrolan mereka. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Viki pun pamit.

***

Perbincangan mereka tadi masih membekas diingatan Viki dalam perjalanan pulang. Memorinya memutar-mutar kembali kisah SMA dulu. Saat Viki sedang bercengkrama dengan sang kekasih hati, Maya, yang ditemani kawan sekelasnya, Novi.
"Viki ambil kuliah apa nanti?" tanya Novi.
"Mungkin antara Teknik Elektro dan Informatika. Novi apa?"
"Novi sih belum jelas, bimbang antara jalur IPA atau IPS. Kalau Maya?"
"Novi harus cepat-cepat mikir tu. Kalau Maya ambil Psikologi, kuliah empat tahun, kerja satu tahun, terus nikah" Maya menjawab dengan yakin.
"Berarti Maya target nikah umur dua puluh tiga gitu?" tanya Novi.
"Iya! Soalnya umur di atas dua puluh tiga udah dibilang perawan tua dalam keluarga Maya, karena kakak semua nikahnya sebelum umur dua puluh tiga. Oya, ingat tu Viki, Umur dua tiga!" ucapnya sambil tersenyum.
Suasana hening sejenak. Dalam pikirannya, Viki terus mencerna apa yang baru saja dikatakan Maya.
Umur dua puluh tiga? Sulit bagiku untuk menikah
"Hmm, umur dua puluh tiga Viki belum jadi apa-apa lagi, gimana mau nikah" ucap Viki mengerutkan dahi.Tiba-tiba bel tanda masuk pelajaran berbunyi sekaligus mengakhiri obrolan mereka.

Setelah kejadian itu, sikap Viki ke Maya berubah, ia mulai menjaga jarak, tak yakin hubungan itu akan berhasil. Maya adalah cinta pertamanya, cinta yang datang dari pandangan pertama. Walaupun Maya yang mengungkapkan cinta terlebih dulu padanya. Viki bukanlah tipe lelaki yang mempermainkan wanita, jika sekali ia melangkah, ia harus komitmen. Komitmen dalam hubungan, itu yang selalu diharapkan Viki. Tapi sejak saat itu komitmennya rapuh, dia sudah pada kesimpulan "Maya terlalu egois, ia hanya memikirkan keadaannya, tanpa mau memahami Aku"

Maya juga merasakan perubahan Viki. Ia menyesali ucapannya yang tak semestinya ia ucapkan, rasa bersalahnya terus berkepanjangan, sampai akhirnya Maya mengirim sms kepada Viki.
"Viki, Maya minta maaf ya, Maya enggak semestinya begitu, Maya tau itu terlalu egois"
Lama Maya menunggu balasan dari Viki namun hpnya itu tak juga berdering. Di sekolah pun Maya dan Viki tidak saling bertemu seperti biasa.

Kesedihan Maya semakin bertambah setiap harinya, hatinya sakit. Di kelas, Maya tampak lesu, tak setegar dulu.
"Kenapa kamu dengan Viki? ada masalah? cerita dong sama Dara, jangan didiamin" teman sebangkunya mencoba menghibur.
"Enggak kenapa-napa, Dar" jawab Maya datar.
"Maya enggak bisa bohong sama Dara, Dara tau kok kenapa" Dara menarik nafas panjang,"Hmm, kan dari awal Dara sudah bilang, jangan lafazkan cinta itu sebelum waktunya datang, tapi titipkan ia pada Sang Pemilik Cinta"
"Jadi sekarang bagaimana Dar? Jangan pojokin Maya lagi dong!" tanya Maya sedih dan kesal.
"Sekarang coba Maya muhasabah diri. Yakinlah bahwa itu taufiq dan hidayah dari Allah, supaya kita sadar dan tidak melanjutkan hubungan itu" nasihat Dara lembut.
"Iya, Dar, Maya coba ikuti saran Dara. Maya juga minta maaf dari awal enggak mau dengarin nasihat Dara" Maya pilu.

Sedikit demi sedikit Maya sadar maksud perkataan Dara, bahwa aplikasi cinta yang dijalaninya ini tersesat. Maya merenung cukup lama, membandingkan keadaannya saat 'sendiri' dengan sekarang. Ia sadari ia khilaf. Walau terlambat, dengan tekad yang kuat, ia titipkan cintanya ini kepada Allah bagaimana semestinya, dan setelah hatinya tenang Maya meng-sms Viki lagi,
"Viki, Maya minta maaf, Maya salah. Sekarang terserah Viki, Viki benci Maya, Viki anggap Maya egois. Mulai hari ini kita jalani aja kehidupan masing-masing. Sekali lagi Maya minta maaf ya."

***

Kerja di kantor PU membuat hari-hari Aris berjalan ringan. Siang ini, ketika break kantor, ia mengotak-atik laptopnya, searching dan chatting. Ketika sedang asyik, ia melihat akun dengan nama Viki Hakem sedang online. Viki adiknya, sudah dua tahun mereka tidak saling berkomunikasi, sejak adiknya sekolah di Kairo. Niat awalnya Aris ingin menyapa, namun tiba-tiba ia dikejutkan oleh rekan kerjanya.
"Aris! chatting mulu. Makan siang yuk. Semalam kamu bilang ada yang mau dibicarakan, sekalian sambil makan. Waktu break hampir habis" tegur Andi.
"Siiip" ia hampir lupa janjinya, Aris langsung mematikan laptop dan bergegas ke kantin. Lalu memesan menu makan siang.

Siang itu, Aris ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Yang tak mungkin lagi ia sembunyikan terlalu lama. Ini yang membuat sebagian harinya tak tenang. Setelah yakin ia pun memulai.
"Andi, sory nih. Aku mau bicara sesuatu, penting! Tapi aku bukanlah orang puitis yang bisa merangkai kata-kata indah jadi tolong maklumlah." ia diam sesaat dan melanjutkan, "dua tahun kita sudah berteman, selama itu aku sering ke rumah kamu, dengan cepat kita begitu akrab. Yang mau aku sampaikan, waktu aku ke rumah kamu, aku sering lihat satu gadis di rumahmu, namanya Maya kalau aku tidak salah dengar" ucap Aris blak-blakan.
"iya, Itu adik sepupu, Ris. Tumben kamu ngebahas masalah beginian!"
"Begini sobat, tanpa sengaja karena sering melihatnya, akhir-akhir ini timbul rasa suka dalam diriku padanya."
"Aris, apa kau serius?!"
"Pertama, ini mungkin karena umurku memang sudah layak untuk..." ia tak menyelesaikan kalimatnya. Keduanya diam, masing-masing ada yang mengganjal dalam pikiran.
"Jangan terlalu formal gitu juga ah. Oke, begini, datang saja ke rumahku tapi waktu aku tidak ada di rumah, bicara dengan bokapku dulu, karena Maya sudah lama tinggal di rumahku, setelah itu baru ke bokapnya. Masalah ini Aku enggak mau bicara, lagian kau pun orangnya baik. Kalau dia bilang oke, aku ikut aja. Aku hanya sedikit heran, kenapa cinta bisa datang tiba-tiba seperti ini" ucapnya panjang.
Aris hanya tersenyum "Thank bro, yuk makan dulu" ajaknya.

***

Ketika waktunya tepat, Aris melangkah ke rumah Andi, ingin menyampaikan maksud hati yang telah lama terpendam. Ayah Andi pun memberikan alamat rumahnya agar Aris berbicara langsung dengan Ayah Maya, pak Anto. Selang beberapa hari, ia melangkah ke alamat yang diberikan. Masih dengan tujuan yang sama. Pak Anto menyambutnya hangat. Setelah memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud, pak Anto memintanya untuk kembali kamis depan.

Ia merasa satu tabir kehidupan mulai terungkap, sampai datangnya hari yang dimaksud. Ternyata disana sudah ada Maya dan keluarga serta Andi. Setelah Aris menyampaikan maksud hati. Ayahnya meminta persetujuan Maya. Maya tertunduk, perasaan malu dan bimbang jadi satu dalam dirinya.
"Maya tidak bisa jawab sekarang, Yah. Maya akan jawab setelah tiga hari"

***

Jam 02:00 dini hari.
Maya bermunajat dalam istikharahnya. Rasa rindu akan cinta yang dulu mengalun merdu. Cinta yang dulu telah ia titipkan pada Sang Pemilik Cinta. Ia yakin, Viki masih menyimpan rasa yang sama, walaupun sampai saat ini tak menyapanya. Sikap Viki memutuskan komunikasi menurutnya untuk membendung cinta agar indah pada waktunya.

Namun dengan kejadian ini, Maya memberanikan diri mengirim pesan kepada Viki melalui twitter, satu-satu penghubung yang mungkin tersampaikan. Ia meninggalkan segala keraguan dan terus menulis dengan bahasa yang sangat halus. Lalu mengirimnya.

***

Kairo jam 20:30.
Malam Jum'at ini Viki memilih refreshing di depan layar PC yang sejajar dengan kasurnya sambil online. Ketika ia mengotak atik PC, ia melihat satu pesan di Twitter. Langsung saja ia buka. Pesan itu dari Maya. Ia heran, "sudah lama sekali, apa isinya?" ucapnya, dan mulai membaca.

"Viki, Maya telah dilamar oleh seseorang. Maya menangguhkan jawaban selama tiga hari. Maya bingung, Vik. Ia adalah teman baik abang sepupuku. Maya tak tau bagaimana dan apa alasan untuk menolak. Tolong bersuaralah demi aku yang diselimuti rasa rindu kepadamu"

Akhirnya hal yang aku bayangkan terjadi. Viki membatin.

Tak lama kemudian, hpnya berdering pertanda pesan masuk, dari Aris, abangnya.
"Viki, aku telah melamar seorang wanita, satu angkatan denganmu di SMA. Tapi belum ada jawaban darinya. Ia menangguhkan selama tiga hari. Mohon doanya agar diterima."

"Orangnya yang lebih spesifik dong, Bang" Tanya Viki was-was. Firasatnya mulai tak enak.

"Maya Lestari" pesan dari seberang.

"Apa?!!" Viki terkejut. Seluruh dunia berhenti. Jantung Viki berdegup kencang. Sedikit sulit mencerna isi pesan itu. Apakah berita ini benar? atau hanya mimpi? "Tidak, ini nyata!" hatinya kacau kala itu. Matanya berkaca-kaca membendung air mata kesedihan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, larut dalam kesedihan.

Hidup ini kejam, sebegitu sempitkah dunia ini! Sampai orang-orang didalamnya harus berputar dalam satu lingkaran yang sama!

Ia berusaha tenang dan bersikap lebih dewasa. Ini hanya soal cinta. Menurutnya, Percuma saja ia belajar agama jika dengan cinta saja ia rapuh. Cintaku telah kutitipkan. Maya bukan siapa-siapaku.

Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada Aris, itu akan memperkeruh suasana. Juga tak perlu mengatakannya pada Maya, biarlah waktu yang mengabarkan. Aku tidak boleh egois, sedang aku sendiri belum siap.

Setelah dirinya tenang ia balas sms abangnya,
"Viki doakan semoga diterima, Bang"

Lalu ia duduk kembali di depan  PC nya. Menatap keyboard tajam, dan mulai mengetik,

Aku tak menyadari saat cinta datang
Tapi aku pemeran aktif saat cinta itu pergi
Aku menjauh karna jalan cinta yang kita tempuh terlarang

Masih murni dihatiku rasa cinta itu
Masih jelas dimataku saat kau tersenyum
Juga masih terdengar di telingaku saat kau berjanji
Namun untuk memenuhi keinginanmu aku tak mampu
Untuk menikahimu diumur dua puluh tiga
Aku tak siap

Kini aku kan berusaha melupakan semuanya
Melupakan kenangan pahit dan manis saat bersama
Cintaku telah ku titipkan
Hiduplah dalam mahligai kebahagiaan dengan cintamu

***
Setelah membaca balasan dari Viki, Maya menangis, "Viki, maafkan aku, aku hanya manusia lemah yang tak bisa menguasai dunia, tapi dunia yang menguasaiku. Aku bukan tak mau menunggumu, tapi kau seperti telah menutup harapan itu dengan pergi begitu saja dari hidupku" kata Maya dalam hati. Ia menangis sampai tertidur di atas sajadah.

Dua insan yang tak saling mengenal akan menuju ke satu bahtera keluarga. Kini Viki setuju pendapat Stephen R. covey 'Cinta adalah kata kerja, dan rasa cinta itu adalah buah dari pekerjaan Cinta'.

Seiring berjalannya waktu, Maya pun tau bahwa Aris adalah abangnya Viki. Awalnya ia sedih. Tapi Maya tak berdaya. Yang harus Ia lakukan sekarang adalah melupakan masa lalunya.

Setelah menikah, sifat Aris yang cuek pada adiknya pun berubah. Abangnya kini sering menanyakan kabarnya lewat sms dan telepon. Satu sisi Viki merasa senang atas perubahan sikap abangnya. Namun benaknya masih membeku menjadi perasaan saling bertentangan yang terpolarisasi dalam hitam dan putih, tak pernah terbayang abangnya sendiri yang membuatnya kehilangan cinta.

"Cinta yang aku perjuangkan dalam diam, telah pergi. Karena dunia lebih tahu 'Dia Bukan Jodohku"

0 comments:

Post a Comment