Powered by Blogger.

GOLPUT dalam Perspektif Islam

GOLPUT dalam Perspektif Islam
Pendahuluan
Jutaan  pujian kita panjatkan kehadirat Allah sang pencipta. Ia maha pengasih, telah menganugerahkan kita begitu banyak nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Salawat dan salam kita hadiahkan ke pangkuan baginda Nabi Muhammad Saw. Dengan risalah yang beliau bawa, kita mampu mengetahui kebenaran, sehingga tidak salah dalam menapaki jalan hidup.

Perputaran waktu terus berjalan. Tak terasa tidak lama lagi, Negara Indonesia akan mengadakan kembali pesta demokrasi lima tahunan. Pada tanggal 9 april 2014 akan diadakan pemilihan umum (pemilu) anggota dewan legislatif, dilanjutkan memilih presiden dan wakil presiden pada 9 juli 2014.

Tampak wajah-wajah lama masih menghiasi arena pencalonan. Orang-orang baru pun turut hadir mempersengit persaingan menuju kursi panas kepemimpinan Indonesia. Rakyat dalam dilematis tersendiri. Kinerja wajah-wajah lama mungkin tidak sesuai dengan harapan mereka. Ditambah penemuan kasus korupsi yang terlalu sering bak kacang goreng.

Adapun wajah-wajah baru walau beberapa memiliki visi yang cerah tapi belum teruji. Bahkan banyak calon-calon yang tidak memiliki pendidikan politik berani mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. Melihat keadaan seperti ini kemungkinan timbulnya golongan putih (golput) tidak dapat diihindari. Rakyat menjadi apatis dan tidak mau tahu siapa yang akan menjadi pemimpinnya.

Hal ini menjadi perhatian penulis sehingga memilih judul "Menilik Golput Dari Perspektif Islam". Bagaimana sebenarnya hukum tidak memberikan suara ketika pemilihan umum dalam pandangan islam. Adapun secara hukum konvensional, memilih atau tidak adalah hak setiap individu. Tidak ada hukum pidana jika golput. Sehingga kita tidak perlu memasukkannya dalam pembahasan.

Pada makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif dan pengumpulan data. Dimana penulis memaparkan setiap pembahasan dari berbagai sumber seperti buku-buku bacaan, baik berbahasa Indonesia maupun Arab, serta dari internet, kemudian merangkumnya dalam bentuk tulisan sistematis. Maka jika terdapat perbedaan pandangan ulama pada suatu masalah, penulis tidak akan men-tarjih pendapat tertentu, karena belum mampu mencapai taraf tersebut.

Oleh karena itu penulis menyerahkan kepada pembaca untuk menilai, mana yang cocok untuk diikuti, setelah melihat argumen setiap ulama. Penulis juga tidak memaksa untuk mengganggap tulisan ini sebagai ilmu. Setidaknya bisa menjadi awal untuk memahami tentang masalah tidak memberikan suara dalam pemilihan pemimpin.

Serba-serbi pemilihan umum (pemilu)
Sebelum berbicara mengenai golongan putih (golput), terlebih dahulu kita harus mengetahui serba-serbi pemilihan umum (pemilu), seperti pengertian dan hukumnya. Setelah mengetahui hal tersebut, baru kita bisa menyimpulkan hukum golput menurut fikih islami. Karena pemilu sendiri berasal dari sistem demokrasi yang bukan dari hukum Islam.

Pengertian pemilu
Pemilu dalam bahasa Arab disebut الانتخابات jamak dari انتخاب yang berarti الاختيار (pilihan) dan الانتقاء (seleksi).

Adapun secara terminologi, para ahli berbeda pendapat dalam mendefenisikan pemilu (الانتخابات). Diantaranya berpendapat bahwa pemilu adalah "suatu kegiatan dimana rakyat memilih seseorang atau banyak, dari calon yang ada, untuk merepresentasikan mereka dalam mengatur negeri".

Adapun ta'rif ini terbatas pada pemilu presiden. Karena hanya ia seorang yang memiliki kuasa mengatur negeri. Sedangkan pemilu termasuk di dalamnya pemilihan lain tidak terbatas hanya memilih presiden.

Maka definisi yang lebih komprehensif adalah sebagaimana yang dikatakan Dr. Akram Kassab, dalam bukunya Al-intikhabat, ahkam wa dhawabith, yaitu "suatu mekanisme untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan, dimana rakyat memilih representasi mereka sebagai dewan legislatif (majalis al-niyabah), kekuasaan eksekutif (tanfiziyyah) dan yudisial (qadhaiyyah), serta hukum negeri".

Namun ada ketentuan yang beliau sematkan pada ta'rif tersebut yaitu hendaknya pemilu tidak diikuti dengan sesuatu yang berlawanan dengan syariat.    

Tak jauh berbeda dengan beliau, pemilu menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat memilih pemimpin politik secara langsung.

Yang dimaksud dengan pemimpin politik adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen) baik di tingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala pemerintahan seperti presiden, gubernur, atau bupati/walikota.

Melihat pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pemilu adalah kegiatan rakyat memilih pemimpinnya baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Bedanya KPU tidak mensyaratkan harus sesuai dengan syariat islam. Namun dalam perjalanannya, aturan pemilu oleh KPU selaras dengan hukum islam seperti tidak boleh adanya suap dan intimidasi.

Hukum Pemilu menurut Fikih Islami
Banyak orang berpendapat pemilu merupakan hasil dari sistem demokrasi. Istilah “demokrasi” sendiri berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena abad ke 5 Masehi. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem hukum demokrasi modern. Namun arti istilah ini berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke 18, bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak negara.

Lantas jika memang bukan berasal dari hukum islam, apakah tidak bisa diterapkan sama sekali oleh kaum muslimin ? Dr. Abdul Karim Zaidan berpendapat boleh (bahkan bisa jadi wajib), untuk mengambil bagian yang benar serta bermanfaat sesuai dengan syariat, dari sekian banyak bagian yang telah menjadi undang-undang dan disebut sistem jahili, berdasarkan dua alasan berikut:

Cukup populer di kalangan ahli sejarah islam bahwa terdapat undang-undang pada bangsa Arab Jahiliyah bernama Jiwar (pemberian suaka politik). Yaitu apabila seseorang secara terang-terangan mengumumkan menjamin perlindungan individu tertentu, maka orang tersebut menjadi berada dibawah perlindungannya. Apabila ada orang lain yang menyakitinya, maka ia telah mengadakan permusuhan pada si pelindung.

Undang-undang ini pernah diambil Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, beliau tidak keberatan berada di bawah jaminan pamannya Abu Thalib. Begitu pun ketika menuju Thaif dan kembali ke Makkah beliau dibawah lindungan Al-Muth'im bin 'ady. Abu bakar juga pernah meminta perlindungan kepada Ibnu Daghnah dan lain-lain.

Dengan demikian dapat disimpulkan, meskipun Al-jiwar merupakan dari undang-undang Arab Jahiliyah, namun kaum muslimin tidak dilarang untuk mengambil salah satu bagian dari sistem ini.

Nabi Muhammad Saw. bersabda yang artinya: "aku pernah menghadiri pertemuan  untuk mengadakan perjanjian  (sebelum diangkat menjadi nabi) di rumah Abdullah bin Ja'dan. Pertemuan tersebuat bagiku seakan-akan memiliki unta merah (sebagai ungkapan kebanggaan beliau). Para tokoh Qurasy berkumpul disana saling berjanji untuk membela pihak yang dizalimi di kota Makkah. Seandainya aku diundang kembali menghadiri pertemuan seperti itu (setelah menjadi Nabi) akan aku penuhi undangan tersebut.

Wajh al-istidlal dari hadis ini adalah yang berkumpul di rumah Abdullah bin ja'dan merupakan penganut sistem jahili dan fanatisme jahiliyah. Mereka berkumpul untuk tujuan kebaikan yaitu kekompakan saling melindungi sesama dan membela pihak yang dizalimi. Nabi pun mendukungnya dengan perkataan beliau "Seandainya aku diundang kembali menghadiri pertemuan seperti itu (setelah menjadi Nabi) akan aku penuhi undangan tersebut."

Dengan demikian, kita mengambil sebagian dari sistem demokrasi adalah sebuah proses. Kita tidak semata-mata mengambil paham demokrasinya, tapi yang kita adopsi adalah sistem syuranya.  Diantara konsekwensi sistem syura adalah mengembalikan pemilihan pemimpin kepada umat. Jika pemilihan kepala Negara saja diserahkan kepada umat, maka pemilihan wakil-wakil rakyat yang akan bermusyawarah dengan pemimpin juga harus diserahkan kepada umat sendiri.

Namun walau begitu, dikarenakan pemilu modern adalah sistem baru yang tidak diketahui islam sebelumnya. Ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, yang terbagi kepada dua:

Sebagian kelompok ulama berpendapat tidak boleh. Diantaranya Muhammad Rafat Usman, Shalih Al-Fauzan, Albani, Hizbut Tahrir di Yordania dan lain-lain.

Adapun yang membolehkan adalah jumhur ulama modern. Diantaranya Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Karim Zaidan, Yusuf Qardhawi, Abu Al-a'la Al-Maududi, Muhammad Ahmad Al-Rasyid, Muhammad Abu Faris, dan lain-lain.

Dalil-dalil ulama yang tidak memperbolehkan pemilu, antara lain:
Pemilu adalah kegiatan yang tidak diketahui umat terdahulu, serta para salaf al-ummah tidak melakukannya.

Pemilu merupakan mekanisme dari sistem demokrasi. Adapun demokrasi bertentangan dengan syariat dari asal.

Pemilu berpijak pada sistem terbanyak sedangkan itu asas yang dicela islam. Isytisyhad mereka dengan ayat Alquran;
          وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya: Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Q.s. Al-an'am:116)

Pemilu adalah syahadah (kesaksian) namun dalam pelaksanaanya menerima suara ahli syahadah dan yang bukan.
Adapun dalil-dalil menjadi pegangan ulama yang membolehkan pemilu serta menolak dalil yang pakai ulama yang tidak setuju pemilu, yaitu:
Hukum dasar sesuatu itu adalah boleh (al-ashlu fi al-asyaa al-ibahah).

Bahwasanya pemilu itu adalah perkara 'adah (kebiasaan). Maka tidak masalah memperbaharui atau berinovasi dengannya.

Kegiatan pemilu menyerupai bai'at. Dimana terdapat keridaan atas orang yang diba'iat atau yang dipilih.

Kaum Muslimin telah terbiasa mengambil faidah dari aturan, wasilah, dan uslub-uslub luar yang tidak berlawanan dengan syari'at. Dan ulama telah setuju pada hal tersebut. Seperti menggali khandaq, membuat mata uang, dan lain-lain.

Kegiatan pemilu apabila benar niat di dalamnya, termasuk dalam tolong menolong yang disyari'atkan dan diperintahkan Allah Swt. Firman Allah;
وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوى‏ وَ لا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوانِ
Artinya; Dan tolong menolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Q.s. Al-maidah:2)
Dengan pemilu dan diperoleh beberapa kemaslahatan dan menolak berbagai kerusakan. Adapun syariat islamiyah berdiri untuk melaksanakan kemaslahatan ummat.

Dan berbagai dalil lainnya yang sangat panjang bila disebutkan semua.

Fenomena Golput (Golongan putih)
Sejarah dan pengertian golput
pemilu selalu tidak terlepas dari salah satu kelompok bernama golput (golongan putih). Istilah ini hanya ada di Indonesia. Mereka adalah pemilih dalam Pemilu yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Awalnya, Golput adalah gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971. Ini adalah Pemilihan Umum pertama di era Orde BaruTokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman. Sepanjang Orde Baru, ia dianggap pembangkang dan sulit mendapatkan pekerjaan walau ia seorang doktor lulusan Harvard.

Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih pada kertas atau surat suara. Di luar gambar partai politik peserta Pemilu. Ini tentu bagi yang datang ke bilik suara.

Namun, di masa itu, jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai. Maklum, baru saja Orde Baru selesai melakukan “konsolidasi” dengan melibas habis bukan saja pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia) tapi juga para pendukung rezim Orde Lama dan para Soekarnois. Pemilu 1971 adalah sarana bagi rezim Orde Baru untuk memantapkan kekuasaannya di negeri ini.

Setelah reformasi 1998, Golput disematkan pada siapa pun warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bukan saja kepada mereka yang peduli dengan kondisi politik dengan sengaja tidak memilih, tapi juga yang apatis dan tidak peduli karena tidak datang ke TPS dan malah memilih berlibur atau beraktivitas lain.

Hukum golput dalam fikih islam
Hukum golput dalam pemilu tergantung bagaimana memandang hukum pemilu. Mereka yang mengharamkan pemilu tentu menjadikan golput sebagai pilihan. Adapun yang membolehkan intikhabat melihatnya dengan berbagai pertimbangan.

Darul Ifta Mesir telah mengeluarkan fatwa melalui Mufti Mesir Dr. Nasr Farid Washil pada tanggal 9 oktober 2000 yang terdiri dari 5 poin, beberapa diantaranya berbunyi;[11]

Tidak diragukan lagi bahwa syura di dalam islam merupakan demokrasi yang sebenarnya. Ia merupakan sesuatu yang wajib diperhatikan anggota masyarakat, agar dapat jujur disetiap perkataan dan perbuatan mereka.

Serta hendaknya mereka menghormati pemerintahan legislatif (tasyri'iyyah), yudikatif (qadhaiyyah), dan eksekutif (tanfiziyyah) yang dihasilkan system syura yang sehat dengan keimanan yang benar. Dan syura itu wajib bagi setiap individu untuk memilih unsur-unsur pemerintahan legislatif (tasyri'iyyah). Pemilihan ini sesuai dengan amanah agama dan syariat sebagaimana firman Allah Swt:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
Artinya; sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanah     kepada yang berhak menerimanya
Wajib bagi mereka yang sempurna kelayakannya untuk melaksanakan amanah ini pada syura dan demokrasi yang sesuai terminologi kekinian untuk memberikan suaranya. Dan tidak terlambat melaksanakan kewajiban ini dengan benar dan amanah. Hingga kita dapat meletakkan seseorang yang tepat di posisi yang tepat.

Dan hendaknya itu jauh dari fanatisme, penipuan, pemerasan, kekerasan. Dan hendaknya kemaslahatan Negara diatas kemaslahatan individu. Dan jangan menyeru untuk  menahan syahadah yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan.

Berpijak pada hal-hal tersebut serta kejadian aktual  yang ditanyakan dan dimintai fatwanya, maka siapa saja yang menahan suaranya di pemilu, ia berdosa secara syara'. Karena ia telah menghalangi haknya bagi masyarakat yang memintanya untuk memberikan syahadah terhadap orang mencalonkan diri sebagai dewan perwakilan rakyat untuk melayani masyarakat.  

Sejalan dengan fatwa tersebut, Syekh Ali jum'ah dalam sebuah acara televisi di kanal Bus wa thul menjelaskan hendaknya kitak tidak menahan syahadah  ketika diminta. Karena kesaksian pada pemilu merupakan bagian daripada syahadah dalam islam.

Pemilu menurut beliau adalah komponen netral untuk menentukan pilihan (ikhtiyar). Dan pilihan merupakan ekspresi dari prinsip syura yang Allah perintahkan serta dari prinsip nasehat seperti yang disabdakan Rasulullah Saw: "Agama adalah nasihat. Sahabat bertanya:  “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum muslim dan bagi kaum muslim secara umum".

Allah menyebutkan agama sebagai nasehat sebagaimana menyebutkan haji adalah arafah. Maknanya, nasehat adalah unsur penting pada perintah kebaikan dan pelarangan keburukan, serta pada syura dan majelis.

0 comments:

Post a Comment