Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid Karya Ibn Rusyd
Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid Karya Ibn Rusyd - Ibn
Rusyd dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat. Tapi sedikit
sekali yang menaruh perhatian bahwa Ibn Rusyd juga ahli fiqh
(jurisprudensi hukum Islam). Karyanya yang berjudul Bidayah al-Mujtahid
wa Nihayah al-Muqtashid bukan hanya membahas perbedaan pendapat
antarmazhab fiqh suni, tapi juga menjelaskan dan mendiskusikan secara
sistematik-kritis berbagai argumentasi dan landasan ushuliyyah
masing-masing pendapat hukum antarmazhab fiqh suni
Dunia
intelektual Islam mempunyai penilaian tersendiri tentang Ibn Rusyd.
Ilmuwan Islam kelahiran Cordova, Spanyol, 526 H/1126 M ini dikenal ahli
berbagai bidang ilmu yang berkembang pada masanya. Ia mengusai
Kedokteran, Ilmu Kalam, Filsafat, Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Matematika,
Astronomi dan Sastra Arab (Harun Nasution:1986).
Sebagai
ahli kedokteran, ia adalah orang pertama yang mengatakan, jika
seseorang pernah berjuang melawan penyakit cacar, maka sistem kekebalan
tubuhnya akan melindungi dari serangan cacar seumur hidupnya. Ibn Rusyd
juga merupakan ahli kedokteran pertama yang membuat gambar cara kerja
dan kegunaan retina mata.
Sebagai
ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, ia seorang “fanatik” Aristotelian dan
Platonian. Dia adalah pengagum berat Ilmu Mantiq Aristoteles dan
menganggapnya sebagai sumber besar kebahagiaan. Sehingga ia menyesali,
mengapa Aristoteles dan Plato tidak bertemu dengannya! Tetapi menurut
alm. Prof. Nurcholis Madjid, segi lain yang lebih mengesankan dari Ibn
Rusyd adalah, usahanya yang sungguh-sungguh untuk menggabungkan Agama
dan Filsafat. Hal ini tercermin dalam salah satu karya terpentingnya
yang berjudul, Fash al-Maqậl fi mậ baina al-Hikmah wa as-Syari’ah min
al-Ittishậl. Nurcholish bahkan menyatakan, Ibn Rusyd lebih
bersungguh-sungguh dibanding sejumlah filosof muslim sebelumnya,
seperti, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain. Seperti yang
ditegaskan Nurcholish, Ibn Rusyd mengajukan argumen bahwa, kebenaran
agama dan kebenaran filsafat adalah satu, meski dinyatakan dalam simbol
berbeda. Tapi Ibn Rusyd juga membela pandangan yang mengatakan bahwa,
kebenaran tertinggi selalu bersifat filosofis, dan bagi yang mampu,
harus diinterpretasikan demikian (Nurcholish Madjid: 1994)
Meski
ahli dalam beragam disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, ‘Abdul
Mun’im Majid dalam Tarikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah fi Al-‘Ushur
Al-Wustho menulis, sepanjang karir intelektualnya, Ibn Rusyd banyak
mencurahkan pikirannya menulis Filsafat Aristotelian dan Platonian.
Sehingga, filosof muslim yang di Eropa lebih dikenal dengan sebutan
Averous ini dijuluki Sang Penafsir Terbesar Aristoteles dan Plato
(‘Abdul Mun’im Majid: 1978).
Sementara
Najati dalam Ad-Dirâsat An-Nafsiyyah ‘Inda Al-‘Ulama Al- Muslimin
menulis, karya-karya Ibn Rusyd tentang Filsafat Aristotelian dan
Platonian banyak yang diterjemahkan ke Bahasa Latin hingga mempengaruhi
ahli-ahli pikir Eropa. Mengutip Muhammad Ali Abu Rayyan, Najati
menyebutkan bahwa, pengaruh pemikiran Ibn Rusyd tampak jelas pada
pemikir pelopor renaissance Eropa, seperti, Saint Thomas Aquinas dan
Spinoza (Muhammad ‘Ustmani Najati: 1993)
Diantaranya
dari karya-karya Ibn Rusyd, beberapa pioner pemikir awal renaissance
Eropa mengenal Filsafat Helenisme yang pada akhirnya membebaskan Eropa
dari The Dark Ages. Selain disebutkan oleh Najati, keterangan serupa
juga disampaikan Nurcholis Madjid, Mun’im Majid dan Harun Nasution dalam
buku mereka masing-masing sembari mengutip pengakuan beberapa sarjana
Barat kontemporer.
Mengutip
Rainan dalam bukunya Averous and Averousme, Najati juga mengatakan,
karya-karya Ibn Rusyd mencapai 78 buku dan catatan yang cakupannya
meliputi bidang Filsafat, Sastra Arab, Kedokteran, Fiqh, dan Astronomi.
Banyak diantaranya yang hilang, sedikit sekali yang dapat dicetak.
Najati menyebutkan, seluruh daftar karya Ibn Rusyd dapat diketahui dalam
buku Mu’allafat Ibn Rusyd, sebuah buku yang khusus diterbitkan pada
Festival Ibn Rusyd untuk memperingati delapan abad wafatnya.
Pelopor Kajian Fiqh Perbandingan
Meski
dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat Islam, tapi tidak
banyak yang menaruh perhatian bahwa Ibn Rusyd juga merupakan ahli Hukum
Islam (jurist) atau faqih (plural: fuqoha). Kondisi serupa juga terjadi
pada dunia akademik. Yasin Dutton, misalkan, dalam artikelnya yang
berjudul The Introduction to Ibn Rusyd’s Bidayah al-Mujtahid pada jurnal
Islamic Law and Society menyebutkan, hanya beberapa sarjana yang
menulis Ibn Rusyd dalam kapasitas sebagai ahli hukum, seperti, artikel
yang ditulis Brunschvig (1962), Abdel Magid Turki (1978), Dominique
Urvoy (1991) dan disertasi Asadullah Yate (1991). Selebihnya, menulis
Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat (Yasin
Dutton: 1994).
Adapun
dalam bahasa Indonesia, telah banyak yang menulis Ibn Rusyd dalam
kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, tapi penulis belum
menemukan sebuah tulisan tentang Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai
ahli hukum. Padahal karya Ibn Rusyd berjudul Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtashid, adalah karya klasik paling komprehensif dan
sistematik dalam kajian Perbandingan Mazhab Fiqh Suni.
Ibn
Rusyd memulai menulis Bidayah saat ia berusia 40-an tahun. Tapi karena
suatu hal yang tidak ia jelaskan, ia baru menyelesaikan penulisannya 20
tahun kemudian atau tepatnya tahun 584 H/1188 M. Keterangan ini
disebutkan Ibn Rusyd pada bagian akhir Bab Haji dalam karyanya, Bidayah.
Karya
klasik ini digunakan kalangan pesantren yang akrab dengan kajian kitab
kuning dan menjadi salah satu bacaan wajib para mahasiswa Jususan
Perbandingan Mazhab dan Hukum IAIN/UIN, lantaran seperti tergambar dari
judulnya, Bidayah memang merupakan rujukan permulaan bagi seseorang yang
mulai belajar berijtihad dan akhir bagi seseorang yang mencukupkan
dirinya dengan pengetahuan dasar hukum Islam. Maka dengan mempelajari
Bidayah, seseorang diharapkan mencoba untuk berijtihad atas
masalah-masalah yang belum ditemukan ketetapan hukumnya, maupun masalah
fiqh klasik yang harus disesuaikan ketetapan hukumnya karena tuntutan
al-maslahah sebagai konsekuensi loncatan zaman kontemporer.
Karena
dalam Bidayah, Ibn Rusyd tidak hanya menyebutkan berbagai perbedaan
pendapat mazhab-mazhab fiqh suni atas suatu masalah, tapi juga
menjelaskan secara mendetil argumentasi-argumentasi perbedaannya .
Ibn
Rusyd juga secara sistematik mempertimbangkan argumen-argumen utama
yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat para fuqoha lintas mazhab
atas suatu masalah fiqh, ia juga menguak qowa’id (principles)
ushuliyyah di balik berbagai perbedaan argumentasi yang ada. Lalu ia
mendiskusikannya secara panjang lebar sembari melakukan analisis
kebahasaan atas teks Al-Qur’an dan Al-Hadist yang dijadikan pijakan
otoritas oleh para fuqoha dalam membangun argumentasi.
Bahkan
pada tahap berikut, tak jarang ia mengunggulkan pendapat suatu mazhab
dari mazhab yang lain atau mengambil qoul ar-rậjih, setelah
mendiskusikan argumentasi terbaik masing-masing mazhab. Kadang pula, Ibn
Rusyd mengungkapkan pendapatnya tentang suatu masalah, setelah
menunjukan kelemahan argumentasi masing-masing mazhab yang ia
diskusikan.
Dengan
memperhatikan pendekatan Ibn Rusyd dalam penulisan Bidayah, tak
berlebihan jika Ibn Rusyd ditempatkan sebagai salah seorang pelopor
kajian Perbandingan Mazhab Fiqh (Muqoranah al-Mazhahib fi al-Fiqh).
Karena
pada prinsipnya, pendekatan ini merupakan suatu pendekatan antarmazhab
fiqh untuk menguji dan mendiskusikan pendapat maupun bangunan
argumentasi masalah fiqh tertentu, guna mengetahui pendapat dan
argumentasi mana yang paling unggul.
Selain
memperlihatkan penguasaan Ibn Rusyd terhadap fiqh lintas mazhab,
Bidayah juga memperihatkan penguasaan penulisnya terhadap disiplin ilmu
Ushul Fiqh. Hal ini tampak pada bagian pengantar Bidayah. Dalam bagian
pengantar yang hanya setebal tiga halaman ini (Bidayah edisi terbitan
Dar al-Fikr, Cairo, tth.) Ibn Rusyd merangkumkan secara padat disiplin
Ushul Fiqh yang ia jadikan sebagai landasan analisis-teori penulisan
Bidayah.
Maka
membaca Bidayah, kita tidak hanya disuguhkan beragam argumentasi dan
perbedaan pendapat berbagai mazhab fiqh suni atas berbagai masalah
fiqhiyah, tapi juga diajak untuk menyelami bagaimana suatu ketetapan
hukum atas suatu masalah fiqh dibentuk dan bagaimana penggalian hukum
(istinbanth) dilakukan.
Sebagai
sosok yang juga ahli ilmu eksakta (kedokteran) dan filsafat, tentu saja
paradigma rasional-empirik turut memempengaruhinya dalam penulisan
Bidayah. Hal ini tampak pada beberapa pembahasan dalam Bidayah. Contoh,
saat ia berbicara tentang cara menentukan ‘illa (operative cause of a
ruling) dan maqsad (purpose of the ruling) dalam penggunaan metode Qiyas
atau menarik kesimpulan dengan analogi. Tampak bahwa Ibn Rusyd
menekankan pentingnya penalaran rasional dalam penerapan Qiyas, bukan
saja agar mendapatkan pemahaman yang lengkap, tapi juga agar kesimpulam
hukum atas masalah baru (furu’) yang dianologikan dengan masalah lama
(ashl) karena ada kesamaan ‘illa ataupun maqsad (untuk Qiyas khafiyy)
dapat diaplikasikan.
Contoh
lain, bagaimana menentukan awal Ramadhan jika munculnya bulan sabit
baru sebelum matahari terbenam. Dalam kasus ini, Ibn Rusyd terlebih
dahulu menyebutkan pendapat para fuqoha dan menyertakan sejumlah hadist
yang menjadi landasan argumentasi mereka. Ibn Rusyd lalu berargumen
bahwa untuk kasus ini seseorang harus menggunakan nalar dan pengalaman
objektif, bahwa jika bulan baru terlihat meski pada tengah hari atau
sebelum matahari terbenam, maka ditentukan saat itu sebagai awal
Ramadhan. Dengan kata lain, dalam kasus penentuan awal Ramadhan, Ibn
Rusyd menggunakan metode rukyah, bukan hisab.
Diantara
manfaat besar membaca Bidayah adalah, kita dapat mengetahui sebab
terjadinya perbedaan pendapat berbagai mazhab fiqh suni atas berbagai
masalah fiqh dan mengetahui bagaimana penggalian hukum dilakukan. Hal
ini sangat penting agar membantu kita keluar dari taqlid buta. Hal lain,
terbuka bagi kita memperdalam studi atas berbagai argumentasi dan
ketetapan hukum yang diperselisihkan, sekaligus berbagai pendekatan
penggalian hukum masing-masing mazhab atas masalah fiqh tertentu. Dengan
demikian akan timbul kesadaran dan sikap saling menghargai, karena
sadar bahwa semua pendapat mazhab yang berbeda tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. Wallahu a’lam bi as-showab.
0 comments:
Post a Comment