Izinkan Aku MengKhitbahmu
Oleh : Raystaycool
Pagi itu
begitu dingin. Butiran hujan semalam yang hinggap di dedaunan, ikut terjun ke
bumi mengikuti irama hembusan angin pagi. Jalanan masih tampak basah. Melengkapi
kesejukan seorang pemuda yang mengendarai motornya menuju lokasi pengabdian. Ia
memakai sweater merah kesukaannya. Tatapannya tajam ke depan, mulutnya tidak
pernah diam walau sesaat dari dzikir dan murajaah hafalan Quran.
Jarak
rumahnya dengan lokasi pengabdiannya sekitar 10 menit. Dia selalu tiba di
tujuan tepat waktu. Tidak lebih cepat. Pun tidak terlambat. Ia memarkirkan
motornya dengan rapi, mengikuti susunan yang teratur dengan motor yang lainnya.
Lingkungan pesantren seperti biasa, semua berjalan normal. Tidak ada yang berbeda.
Pepohonannya. Ruas jalannya. Tidak ada perbedaan dari senyuman para guru, juga
para siswa, yang berbondong-bondong menuju kelas masing-masing.
“Assalamu’alaikum
Syeikh,” suara halus memecahkan kesunyian pagi itu.
“Wa’alaikumsalam,”
“Enta
‘amil eih?”
“Kuwaisy
Alhamdulillah, enta kuwaisy, walallak?”
“Kuwaisy, enta keda-keda Ustadz Viki” sahut
Reza, sambil memberikan jempol yang dia ayunkan ke atas dan ke bawah sangat
cepat, sebanyak yang tidak dapat dihitung oleh Viki.
Viki
membalas jempolnya, “Enta keda bardhu” keduanya tertawa ringan.
“Gimana
rasanya menyandang gelar S2, ada greget gitu Stad?”
“Ah
apanya yang greget, biasa aja”
“Nah,
mungkin harus segera ambil estri biar terasa gregetnya,” Viki menyindir.
“Apa
estri-estri, calon aja belum ada.”
“Calon banyak,
tinggal tunjuk kok. Hahaha. Oke Stad, Saya masuk dulu ya”
Viki
terus melangkah meninggalkan Reza sendirian. Awal pertemuan mereka selalu saja
membahas masalah nikah. Dimanapun. Kapanpun. Setidaknya, setiap berjumpa
dengannya, Viki makin semangat menyelesaikan S2nya. Lalu segera menikah. Namun
setiap kali pikiran itu hadir. Hatinya gundah. Ia pernah kehilangan cinta.
Begitu sakit. Perih. Di sisi lain, Ia teringat nasihat teman-temannya “kamu
pilih saja satu dari sekian banyak murid kamu untuk dijadikan istri, itu saja
susah”.
Bahkan teman
lainnya pernah berpesan “Vik, kamu beruntung sekali kalau bisa menjadikan murid
sebagai istrimu kelak, karena kamu bisa menjaganya dari sekarang, bisa
mengarahkannya dari pergaulan anak-anak zaman now. Cewek dan cowok ngumpul di
warkop. Judulnya buat tugas. Sampai disana ngomong tidak jelas sampai larut
malam. Apalagi ada yang pacaran. Suaminya nanti bukan lagi orang pertama yang
dia gombalin. Tapi sudah berderet nama mantan-mantan, sebelumnya. Coba kalau
dari dia sekolah sudah dijaga, sudah diarahkan. Mudah-mudahan terjaga. Memang
tidak semua sih, tapi . . . ah, kacau pokoknya.” Viki mendengar dengan teliti ceramahnya.
Tidak membantah satu katapun. Berpikir. Dan diam. Ternyata nasihat itu tidak
percuma. Karena, kini Viki telah mengukir satu nama di hatinya.
***
“Zahara
. . ?” panggil Viki, mengabsen siswa di kelas dari awal sampai akhir.
“Hadir
Ustadz” sahut Zahara, sambil meluruskan pandangannya ke depan ketika namanya
dipanggil.
“Alhamdulillah,
hari ini hadir semua” ucap Viki sambil menatap ke arahnya.
Pandangan
mereka bertemu. Dunia terhenti sejenak. Pikiran Viki mengenang peristiwa
delapan bulan yang lalu. Ketika Viki memberikan sebuah hadiah kepadanya. Tepat
sehari setelah tanggal ulang tahunnya. Juga, di sela-sela pertemuan di kelas, Viki
sering menasehatinya secara personal. Sampai akhirnya, Zahara paham maksud
perlakuan itu, dan membuatnya tersipu malu. Hanya saja, Viki penasaran. Karena
tidak dapat mengingat, entah bagaimana awal perasaan itu hadir.
Zahara
begitu mempesona di mata Viki. Pesona untuk masa depannya. Pernah suatu malam,
ketika Viki sedang camping di pantai bersama tiga temannya. Mereka membahas
bagaimana cara melihat keahlian orang lain. Seorang temannya memperlihatkan
sebuah foto. Spontan Viki berkomentar, “Ini pasti pintar masak.”
“Lho,
kok tau, kenal?”
“Tidak,
cuma tahu aja”
“Coba
kalau yang ini” sambil memperlihatkan foto lain.
“Ini
orangnya cerdas. Multi talenta.”
“Siapa
lebih oke dengan yang tadi”
“Oke
yang ini. Lebih kreatif orangnya”.
Temannya
semakin heran mendengar jawaban Viki. “Kok bisa tau, gimana cara lihatnya? Oke,
oke, sekarang coba tebak siapa lebih tinggi intelensi aku dengan dia” sambil
menunjuk teman disebelahnya.
“Dua
jawaban pertama gratis, jawaban selanjutnya harus bayar. Hahaha.” Viki tertawa,
lalu melanjutkan “Aku melihat dari tangan seseorang. Dari situ bisa terlihat
sifatnya. Keahliannya. Bagaimana kira-kira dia kedepan.” Mungkin dari situlah
asal muasalah perasaan itu hadir, karena Viki melihat ada hal yang spesial dari
diri Zahara.
Lalu tatapan
Viki kembali ke buku absensi sambil mengisi tanda titik di kolom kehadiran
siswa.
Selesai
mengabsen, Viki terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus memulai. Suasana kelas begitu
emosional. Ini hari terakhir Viki mengajar di kelas tersebut. Karena, mulai
minggu depan mereka harus bertempur dengan berbagai ujian sekolah. Hingga
seorang siswa yang duduk di sudut kanan barisan depan bertanya, “Ustadz, hari
ini bahas kisi-kisi ujian!”
“Dari
limapuluh soal kisi-kisi yang sudah ada sama kalian, sepuluh yang akan keluar.
Jawabannya jangan di hafal, tapi sering diulang-ulang saja. Nanti terhafal
sendiri” Viki menjawab dengan datar. Ia diam, lalu bertanya “Kamu, setelah
lulus, mau lanjut kemana?” suasana mencair seketika.
“Ana Keperawatan
Ustadz,”
“Keperawatan
dimana?”
“Tidak
jauh jauh, di Banda Aceh ustadz, Ana juga tinggal disini”
“Mm,
sebelahnya, daftar kuliah dimana?”
“Ana
rencana mau masuk ma’had tahfidz di Jawa Tengah Ustadz. Cuma orang tua tidak
mengizinkan. Tapi Ana pingin sekali ke
sana. Menurut Ustadz bagaimana?”
“Sebentar,
siapa lagi yang ingin kuliah keluar Aceh?”
Beberapa
siswi mengangkat tangannya. Viki bertanya satu persatu. Ada yang ingin kuliah
ke Jawa, Malaysia, bahkan ke Timur Tengah. Viki menarik nafas panjang. Lalu
berbicara, “Kemana pun kalian kuliah, silahkan. Asal mendapatkan ridha orang tua.
Kalau orang tua tidak meridhai, jangan coba-coba nekat. Bicara dengan orang tua
baik-baik, kalau juga tidak diizikan. Ikhlaskan saja.”
“Pendapat
Saya pribadi, sebaiknya perempuan itu jangan pergi keluar, karena kemungkinan besar
akan menimbulkan fitnah. Makanya Arab Saudi, kalau perempuan ingin kuliah ke sana,
mereka mewajibkan harus ada mahram. Namun, boleh-boleh saja keluar. Tapi harus siap.
Harus maksimal menjaga diri di sana.” Sambung Viki. “Kalau Zahara ingin kuliah
dimana?” Viki memberanian diri menatapnya lagi.
“Ana
sambung ke Lembaga Bahasa Arab dan Al Quran di Sukabumi ustadz”
“Mm, itu
D2 atau D3?”
“D2 Ustadz.
Persiapan Bahasa Arab dan Tahfidz Ustadz” jawabnya singkat.
“Terus
lanjut ke Sudan?” tanya Viki. Pertanyaan yang sudah lama ingin dia tanyakan.
Pertanyaan yang menentukan segalanya.
“Ia
Ustadz, pinginnya gitu” mendengar jawaban itu, hati Viki hancur. Pikirannya
seakan-akan terbang. Jawaban yang bagaikan lautan yang tak akan pernah bisa
menyatu dengan daratan. Rencana menikahinya di umur 25. Seakan-akan sirna.
Kini
intonasi bicara Viki berubah, “Intinya kalau kalian ingin kuliah keluar, harus
bisa jaga diri. Itu saja”
***
Suasana
pesantren masih sama sedia kalanya. Pepohonan masih memberikan kesejukan yang
nyaman. Senyuman penghuninya masih merekah. Namun tidak dengan hati. Hati Viki.
Kesunyian menerpanya. Tak terbendung. Selalu begitu. Tak pernah berubah.
Sudah
hampir dua tahun ia melewati hari dengan senyuman palsu. Satu orang pun tak
memahaminya. Sampai pada suatu pagi, dia tidak sanggup memendamnya. Lalu
berniat ingin cerita kepada Reza yang baru saja selesai mengontrol ketertiban Siswa.
“Syeikh,
gimana? Kapan nikah? Sudah lama selesai S2, apalagi yang di tunggu.” Ia menyapa
Viki duluan.
“Yaaa,
Ustadz juga kapan?” Viki tertawa pelan.
“Tunggu
Antum duluan.”
“Oya, Stad,
saya mau minta solusi, tapi sambil ngopi. Bisa? Kalau bisa, saya minta izin
dulu ke piket. Ini urgent soalnya.”
“Oke
oke”
Mereka
menuju ke Warung Kopi dua lantai di samping sekolah. Mereka memilih duduk di
lantai dua. Masing-masing mereka melahap kopi sambil ditemani surat kabar.
Setelah suasana stabil mereka memulai. Viki menceritakan kisahnya dari awal,
bahkan paling awal sekali sampai ending yang memilukan hati. Ia begitu
terbuka dengan Reza demi menemukan solusi untuknya. Satu katapun tidak ada yang
Ia sembunyikan. Hingga Reza pun terbawa suasana. Raut mukanya berubah. Pilu.
“Berapa tahun
tadi Kamu bilang selisih umur dengannya?” tanya Reza.
“lima
tahun”
“Selama
ini, sama sekali tidak pernah komunikasi?”
“Tidak”
Viki menggeleng-gelengkan kepala. “Saya tidak ingin membebaninya, dengan harus
memilih antara melanjutkan pendidikan atau menikah”
“Vik,
hubungi dia.” Kata Reza, memecah kebuntuan.
“Tapi .
. . Bagaimana? Untuk apa?” Viki dilanda kebingungan.
“Hubungi
dia Vik!!! Nikahi dia sebelum kau menyesal” Reza membentak seraya membanting
tangannya diatas meja.
Jiwa
mereka tegang kala itu. Sunyi.
Beberapa
detik kemudian Reza kembali lembut, “Kau tidak tahu Vik, kau belum mendengar
jawabannya dengan pasti, kau hanya berfirasat, kau keliru selama ini.”
Keduanya
terdiam. Membisu.
Viki mengambil
Hpnya dan berusaha mencari cara agar bisa menghubunginya. Hanya ada satu pilihan.
Instagram. Ia mengirim pesan kepada Zahara. Untuk pertama kali.
***
“Zahara
. . .” panggil Nisa, temannya.
“Iya”
sahutnya dari kamar sebelah.
“Ayo,
taksinya sudah sampai.”
“Oke.”
Mereka
berdua menuju bandara, untuk pulang ke tanah kelahirannya. Aceh. Namun ada hal
yang spesial dalam kepulangan ini. Karena hitungan beberapa hari, Mereka akan
berangkat ke Sudan untuk melanjutkan studi S1.
Mereka
begitu menikmati penerbangan ini. Sambil bercerita hal-hal yang akan dilakukan
di Sudan kelak. Lengkap dengan segala yang ingin dicapai untuk membahagiakan
orang tua.
Kini, jam
tangannya menunjukkan pukul 10:00. Tiga jam perjalanan terasa begitu singkat.
Hingga sampailah mereka di tempat tujuan. Baru saja menghidupkan Hp, ia
mendapatkan pesan di Instagramnya.
“Assalamu’alaikum
Zahara, kamu dimana?” Send 08:00. Ada rasa yang berbeda di hati Zahara setelah
membacanya.
“Zahara
baru saja sampai di Banda Aceh, ustadz.” Ia menjawab seadanya. Menyembunyikan
rindu.
“Boleh
saya minta nomor Hp kamu?” balas Viki.
“Boleh
Ustadz, 085216228280”
Ketika
itu juga, Viki menghubunginya. “Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam”
suara sayu terdengar di telinga Viki.
“Bagaimana
Kabarnya,?”
“Alhamdulillah
Baik. Ustadz” jawabnya tanpa ragu, ia sangat mengenali suara diseberang.
“Saya
ingin bertemu dengan Kamu, ada yang ingin Saya bicarakan”
Zahara
terdiam sejenak. “Boleh Ustadz, tapi Ana belum bisa bilang kapan, karena ini
baru saja tiba”
“Yup,
nanti Saya hubungi lagi ya. Semoga sampai di Rumah dengan selamat.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Tit tit. Telepon berakhir.
“Siapa
Zahara?” tanya Nisa.
“Tidak
ada” jawabnya menghindar dari pertanyaan Nisa.
Nisa
tidak melanjutkan pertanyaannya. Dari raut wajahnya, Nisa bisa menilai, itu hal
yang sangat privasi. Lalu mengajak Zahara menuju ke pengambilan bagasi. Namun Zahara
masih saja termenung. Hampir saja dia melewatkan kopernya kalau saja tidak Nisa
tegur. Akhirnya mereka keluar bandara, dan disana Zahara langsung bertemu
dengan keluarganya. Begitu juga Nisa. Mereka pun berpisah.
***
“Assalamu’alaikum,”
sapa Viki dari telepon.
“Wa’alaikumsalam”
jawab Zahara.
Di
telepon. Mereka saling menanyakan kegiatan selama ini. Bagaimana mengisi
hari-hari selama dua tahun ini. Zahara menceritakan bahwa dia sudah
mengkhatamkan Al Quran. Nilai Bahasa Arabnya bagus. Banyak hal mereka
bicarakan. Namun dari pembicaraan tersebut satu hal yang membuat Viki gundah.
Ketika mengetahui Zahara akan berangkat ke Sudan dalam hitungan hari.
Beberapa
menit setelah pembicaraan berakhir. Zahara menerima pesan dari Viki.
“Zahara.
Boleh Saya ke rumah kamu besok siang. Ingin silaturahmi”
Zahara
terpaku menatap pertanyaan di Hpnya. Matanya berkaca-kaca. Tak terbendung, air
matanya mengalir lembut di pipi. Butuh beberapa menit baginya untuk membalas.
“Boleh
Ustadz”
Keesokan
harinya, Viki menuju ke rumah Zahara sendirian. Sampai disana ia disambut oleh
Pak Anis, Ayahnya Zahara. Sebelumnya, Zahara telah memberi tahu Ayahnya perihal
kunjungan itu. Ia langsung dipersilahkan masuk. Di ruang tamu yang sederhana
itu, Viki memperkenalkan diri pada Pak Anis, lalu berbasa-basi ringan. Ayahnya
begitu terbuka, care, dan sangat santun. Tak butuh waktu lama, Viki
merasa begitu akrab dengannya.
Dari
awal kunjungannya, Viki belum melihat keberadaan Zahara. Viki memberanikan diri
melanjutkan misinya. Mengutarakan maksud hati yang menjadi tujuan utama
kunjungannya ini. Lengkap. Sangat kompleks. Pak Anis mendengarnya dengan
seksama. Tak ada satu kata pun yang ia sanggah. Sampai Viki berhenti berbicara.
Pak Anis
paham maksud Viki, ia bangkit dari kursinya, “bicaralah secara langsung dengan
Zahara, nak Viki” ucapnya. Segera Ia memanggil Zahara untuk menuju ke ruang tamu.
Pandangan Viki tertunduk menunggu kehadiran sang idaman hati. Sampai suara
langkah kaki terdengar semakin dekat. Sesosok wanita telah hadir. Itulah Zahara
yang berada tepat di hadapannya.
Viki
mengangkat pandangannya. Seketika, Viki tertegun. Melihat keindahan matanya
yang memukau. Dihiasi oleh cadar berwarna hitam pekat yang menutupi seluruh
bagian bawah matanya. Begitu mempesona. Ia pun duduk di hadapan Viki. Dan menunggu.
Menunggu kalimat apa yang akan Viki ucapkan.
“Zahara,!”
lirihnya, lalu diam. Kalimatnya tak kunjung selesai.
‘Maafkan
Aku.
Aku
takut terlambat mengutarakan hal ini.
Lalu
kamu berlabuh ke lain hati.’ Viki membatin. Sajak puisi yang tak akan pernah
terucap, menari-nari di pikirannya.
“Maukah
kau menikah denganku?”
Kalimat
yang begitu sulit diucapkan. Sesulit memecahkan gunung Es di kutub utara. Properti
di sekitar ikut bergelora dengan hati seorang insan yang sedang dilanda rindu.
“Ustadz,
ana 10 hari lagi akan berangkat ke Sudan.” Zahara langsung menjawabnya.
Spontan. Seakan-akan Ia telah berlatih selama setengah hari untuk menjawabnya.
Walaupun hatinya kacau. Diselimuti dilema yang sangat dahsyat.
Viki
mencerna jawaban itu dengan baik. ‘Negatif.’ Jawabannya seperti yang ia
prediksi jauh-jauh hari.
Tapi dia
tidak habis akal. Ia teringat sebuah puisi indah yang dulu pernah ditulis.
Memori itu terulang kembali di pikirannya.
‘Kepada hati,
Aku tuliskan selarik sajak
Tentang aku, yang begitu memujamu
Tentang pesonamu, yang begitu aku kagumi
Dan tentang cerita, yang aku harap kamu akan ada di dalamnya’
Aku tuliskan selarik sajak
Tentang aku, yang begitu memujamu
Tentang pesonamu, yang begitu aku kagumi
Dan tentang cerita, yang aku harap kamu akan ada di dalamnya’
Viki
melanjutkan “Jika Kamu belum ingin menikah. Izinkanlah Aku mengkhitbahmu,
Zahara? Sebelum Aku kehilanganmu untuk selamanya.”
***
Khitbah = lamar
Enta ‘amil eih? = apa kabar
Kuwaisy = baik
Walallak = atau tidak
Enta = kamu
Enta keda bardhu = kamu begitu juga
keda-keda = begini
0 comments:
Post a Comment