Powered by Blogger.

Aku Ingin Belajar Lagi

Mungkin Aku tidak begitu suka mendengar kalimat yang berbuyi “Tidak ada kata terlambat untuk belajar”, walaupun pada dasarnya kalimat tersebut benar. Setiap orang yang aku temui selalu mengatakan itu, sebagai pelampiasan dari penyesalannya menunda-nunda belajar di usia muda.

Pada saat mengisi tausiah singkat menjelang buka puasa di rumah kantor Kakanwil Pajak Aceh, mataku tertuju pada sesosok yang tak asing bagiku. Saat itu pula, aku harus menanggung kondisi yang kritis. Melanjutkan ceramah sambil memendam kekaguman terhadap sosok tersebut. Setelah berbuka dan melaksanakan shalat maghrib berjamaah, dia pun memergokiku dengan kalimat “kayaknya kenal ni”. “Bagaimana tidak?!” pikiranku menjawab. Dia adalah peserta pelatihan tahsin al Quran yang diadakan oleh IKAT dua minggu yang lalu. Dia bersama istrinya sama-sama mendaftar untuk karantina belajar tahsin selama tiga hari. Namun panitia tidak ada yang tahu status pekerjaannya apa.

“Abang sudah lama pegawai disini” tanyaku. “lumayan” jawabnya. Dia menceritakan background kuliahnya, bagian pekerjaannya di kantor, sampai pada pekerjaan ekstranya sebagai pengurus Masjid Kantor Keuangan. Satu yang membuatku tertegun, ketika sampai pada kalimat, “iya, kemarin ketika mengikuti pelatihan tahsin, abang ambil cuti kerja.” Dia cuti untuk belajar al Quran. Bukan liburan.

Ketika itu pikiranku buyar. Teringat satu kejadian menjelang buka puasa hari karantina kedua. Aku mengatakan padanya, “Fatharaz jadi imam Shalat Maghrib nanti ya!”. Dengan malu-malu dia membantah, “kalau ada matahari apa gunanya cahaya bulan.” Aku balas, “bulan tidak pernah menolak cahaya dari matahari, jadi kamu tidak boleh nolak”. Akhirnya ia kalah. Aku menceritakan percakapan ini kepada teman-temanku, mereka tertawa. Kenapa memangnya? Karena umurku terpaut jauh dibawahnya, dia sudah 29 tahun, namun aku memanggil, bahkan menyuruhnya dengan namanya langsung. Aku pun ikut tertawa atas spontanitas itu.

“Bagaimana perasaan setelah mengikuti pelatihan tahsin, Bang?”

“Alhamdulillah semakin percaya diri ketika menjadi imam di Masjid, dan ketika membaca al Quran, bahkan menegur teman yang salah dalam membaca al Quran.” Dia memaparkan dengan panjang lebar. Diapun menawarkanku untuk menjadi imam qiyamullal di Masjid tersebut.

Pulang dari rumah Kakanwil tersebut Aku masih salut dengannya. Beberapa kali, lirihan-lirihan lembut berbisik. Temanku pernah bercerita, seorang Syaikh yang mengajar kitab Shahih Bukhari dan Muslim di Masjid Al Azhar pernah berguru menulis khat kepadanya. Syaikh itu baru mulai belajar menulis titik. Pada waktu senggang dia bertanya kepada syaikh tersebut. “Syaikh, kenapa diusia yang sudah tua ini, bahkan jadwal mengajar Hadits sangat padat, Syaikh masih ingin belajar khat?” Dengan penuh tawadhu beliau menjawab, “Aku ber’azam, sebelum meninggal, akan menulis al Quran dengan tanganku sendiri, oleh karena itu aku ingin belajar menulis dengan baik.”

Di waktu lain, Aku pernah duduk dengan seorang teman di sebuah aula kampus, sebenarnya dia lebih cocok di panggil kakek. Rambutnya sudah putih semua, “Kenapa di usia yang sudah tua ini paman masih kuliah di jenjang sarjana?”. Ia menjawab “Sebenarnya aku sudah menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana di Jurusan Tehnik Mesin, namun aku ingin kuliah lagi, belajar di fakultas syariah, sehingga aku bisa paham bagaimana suatu hukum itu bisa tercipta.”

Aku juga memiliki teman yang mengalami kesulitan untuk lulus pada setiap level di Universitas Al Azhar. Namun untuk melepas kesedihannya dan menutupi waktu kosong, ia belajar bahasa asing dengan giat. Pada saat itu dia dapat menguasai bahasa Prancis, Jerman dan Turki. Dia menjalin hubungan baik dengan wanita di Turki. Hingga mencapai tahap ingin meminangnya. Namun, kesedihan menimpanya saat keluarga dari pihak wanita menolak, disebabkan pekerjaan temanku ini yang tidak stabil. Lalu apa yang terjadi, ia tidak larut dengan kesedihannya, bahkan melirik untuk mempelajari bahasa Spanyol sebagai pelampiasan kesedihan ini, berharap suatu saat ada wanita muslim Spanyol yang menerima pinangannya.

Bayangan-bayangan itu mengisi setengah jam waktuku, rasa kagum kepada mereka hadir kembali. Namun apalah gunanya kalau hanya mengagumi sesaat, tanpa bisa move on dari keterbatasan ini.

0 comments:

Post a Comment