Menyematkan Nama Suami di Belakang Nama Istri
Menyematkan Nama Suami di Belakang Nama Istri - Diakui atau tidak, memang penyematan nama
suami dibelakang kebanyakan nama istri itu bukanlah suatu tradisi yang dikenal
oleh syariah. Sejak zaman dulu, Nabi Muhammad saw beserta para sahabatnya tidak
pernah melakukan itu, mereka tidak pernah menyematkan nama suami-suami mereka
dibelekang nama istri-istri mereka.
Pun begitu juga, bahwa istri-istri Nabi
Muhammad saw tetap menyematkan nama ayah mereka dibelakang nama mereka, dan
bukan nama Nabi. Seperti KHodijah binti Khuwailid, dan bukan Khodijah Muhammad.
Penyematan nama suami dibelakang nama istri
ialah budaya barat yang terlanjur menjadi kebiasaan bagi kita ini, dan bahkan
hampir diseluruh Negara di belahan dunia memakai cara ini, yaitu menyematkan
nama suami atau keluarga suami dibelakang nama istri.
Pada awalnya memang sejak dulu kala,
orang-orang semua menamakan dirinya dengan nama nasab. Maksud nama nasab ialah:
ia menyematkan nama ayah kandung mereka dibelakang nama mereka dengan pemisah
kata "Ibn", atau "Ibnatu" untuk perempuan. Yang kalau di
Indonesia dikenal dengan sebutan "Bin", dan "Binti".
Namun tardisi ini lama-kelamaan menghilang.
Sekitar abad ke -14 masehi, Orang-orang sudah tidak lagi memakai kata
"bin" untuk memisahkannya dengan nama ayahnya. Jadi yang awalnya
"Ahmad bin Hamdan", menjadi "Ahmad Hamdan".
Nah kemudian tradisi berubah lagi hanya
untuk perempuan, kalau perempuan justru ketika masih perawan, nama ayah yang
disematkan dibelakang namanya. Tetapi ketika ia sudah bersuami, nama suami atau
keluarga suami lah yang menjadi nama belakangnya dan biasanya ditambah dengan
awalan "miss" atau "nyonya".
Awalnya bernama "Maryati",
setelah menikah dengan "Andi Setiawan", namanya berubah menjadi
"Nyonya Maryati Andi Setiawan" . Atau "Maryati Setiawan".
tujuannya sebagai "tanda" bahwa si dia itu istrinya si dia.
YANG MENGHARAMKAN
1. Bukan Tradisi Islam
Karena memang penyematan nama suami
dibelakang nama istri ini tidak dikenal dalam tradisi syariah, beberapa
kalangan Ulama mengharamkan praktek ini. Selain kerana ini memang tidak ada
tuntunannya, ini juga nantinya akan menyebabkan kerancuan nasab.
2. Kerancuan Nasab Dalam Syariah
Kerancuan nasab, dan kebimbangan ketika ada
orang yang membaca atau mengenalinya, "Si Dia itu anaknya siapa?".
Karena bagaimanapun kerancuan nasab punya konseksuensi syariah yang cukup
detail.
Bagaimanapun nasab punya kedudukan penting
dalam syariah. Seperti dalam masalah waris, pernafkahan dan juga perwalian
serta status Mahrom. Dan penyematan nama suami itu menyebabkan banyak kerancuan
syariah nantinya. Selain itu juga bahwa ada ayat yang melarang itu, yaitu
melarang untuk menyematkan nama selain ayah kandung dibelakang nama seseorang,
baik laki atau perempuan.
3. Ada Larangan Dalam Al-Quran:
"Panggilah mereka (anak-anak angkat
itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi
Allah" (Al-Ahzab; 5)
Dalam ayat ini, (menurut Ulama yang memang
mengharamkan menyematkan nama selain bapak dibelakang nama seseorang) terdapat
perintah untuk memanggil seseorang dengan nama bapaknya kandung. Dan sekaligus
menjadi larangan untuk sebaliknya.
Disamping itu juga, Karena memang
menyematkan nama ayah kandung itu yang dianjurkan dalam syariah, selain karena
nasab dan juga sebagai indentitas serta kejelasan wali. Nah kalau disematkan
kepada nama suami, apa maslahatnya?
YANG MEMBOLEHKAN
Tetapi tidak semua ulama beranggapan sama
dengan apa yang disampaikan diatas. Beberapa ulama dalam fatwanya mengatakan
bahwa boleh-boleh saja menyematkan nama suami dibelakang nama istri, asalkan
itu memang sudah menjadi kebiasaan yang tidak akan menybabkan kerancuan nasab.
Beberapa ulama mengeluarkan fatwa kebolehan
ini, seperti Dar Al-Ifta' Al-Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir). Dalam fatwanya
no. 152 tanggal 27/10/2008. Tentu dengan beberapa argument yang kuat juga.
1. Ayat Bukan Larangan
Ayat yang disebutkan tadi, yaitu surat
Al-Ahzab ayat 5 itu memang perintah, tapi harus dilihat dulu latar belakang
turunnya (Asbab Nuzul) ayat tersebut. Ayat ini turun sebagai penolakan syariah
Islam terhadap apa yang telah terjadi dimasa Jahiliyah.
Banyak orang dimasa itu yang menyematkan
nama seseorang dengan nama yang bukan ayah kandungnya. Seperti apa yang
disematkan kepada nama Zaid bin Haritsah, salah satu budak Nabi Muhammad saw.
Banyak sahabat yang memanggilnya dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Dan memang
itu kebiasaan orang ketika itu, yaitu menyematkan nama Tuan-nya dibelakang nama
Budak-nya.
Nah ketika ayat ini turun, semua kebiasaan
itu menjadi terlarang. Lalu semua beralih memanggil zaid menjadi Zaid bin
Haritsah. Dan juga sekaligus larangan bahwa tidak boleh memanggail nama
seseorang dengan bukan nama ayah kandungnya. (Tafsir Ibnu Katsir; Tafsir
Al-Ahzab ayat 5)
2. Yang Dilarang, Menyematkan Nama Selain
Ayah Kandung
Yang benar-benar dilarang oleh syariah
ialah menyematkan nama selain ayah kandung dengan redaksi peranakan atau
redaksi nasab yang sah. Penyematan nama nasab itu dengan kata "bin"
atau "binti".
Jadi tidak boleh sama sekali menyematkan
nama dengan "bin" atau "binti" kepada selain ayah kandung.
Dan larangan ini disepakati oleh ulama sejagad raya ini. Jadi kalau si Ahmad
nama ayahnya ialah Hamdan, maka menjadi haram kalau dia menyematkan nama
setelah "bin"-nya dengan selain Hamdan.
Karena "bin" atau
"binti" ialah kata yang menunjukkan nasab. Kalau melanggar ini maka
ini yang membuat kerancuan sangat fatal. kalau tidak makai "bin" atau
"binti" yaa menjadi tidak masalah, karena itu bukan menunjukkan
nasab. Toh para pendahulu kita dari banyak ulama juga menyematkan di belakang
namanya dengan bukan nama ayah kandungnya.
Seperti Imam Abu Hamid Al-Ghozali,
"Al-Ghozali" bukanlah nama ayahnya melainkan nama daerah
kelahirannya. Yang haram kalau itu memakai kata pemisah "bin", karena
memang itu bukan ayahnya. Ini larangan yang disepakati oleh ulama sejagad raya.
Dan kalau menyematkan dibelakang nama dengan bukan "bin", yaa menjadi
tidak masalah.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan
bahwa tidak dilarang kalau memanggil seseorang dengan sebutan "anak".
Yang dalam bahasa Arab disebut dengan "Bunayya", (anakku)
Ini tidak dilarang jikalau maksudnya untuk
sebutan kasih sayang dan bukan penetapan nasab. (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir
Al-Ahzab ayat 5)
Karena Nabi saw juga pernah diririwayatkan
dalam sebuah hadits yang shohih riwayat Imam Muslim, bahwa Beliau saw memanggil
Anas bin Malik dengan sebutan "Ya Bunayya" (wahai anakku).
3. Sudah Menjadi 'Urf (kebiasaan)
Sudah bukan hal yang tabu lagi dalam waktu
belakangan ini bahkan sejak dahuku kala, bahwa banyak istri yang menyematkan
nama suaminya dibelakang namanya sendiri. Dan itu kebiasaan banyak negara,
bukan cuma Indonesia.
Walaupun memang kita tahu bahwa itu adat
Barat, tapi apa yag datang dari barat bukan berarti negatif dan harus
ditinggal. Kalau memang tidak melanggar syariah yaa tidak masalah.
Penyematan nama suami atau keluarga suami
dibelakang nama istri sudah menjadi kebiasaan yang sepertinya orang tidak lagi
aneh. Dan orang ketika membaca nama si wanita itu akan mengerti bahwa
dibalakang namanya itu nama suaminya.
Dan penyematan nama suami juga tidak
berarti bahwa si suami itu ayahnya si wanita. Dan tidak juga membatalkan
statusnya seorag anak dari ayah kandungnya yang asli. Dan semua orang sudah
biasa dengan keadaan ini.
Sama sekali tidak ada yang beranggapan
bahwa nama dibelakang itu nama ayah kandung. Pasti ketika baca, orang masih
akan bertanya "siapa ayahnya?", ini kan bukti bahwa penyematan itu
bukan berarti pe-nasab-an. Jadi yaa tidak masalah.
Apalagi kita di Indonesia ini yang hampir
semua orang bernama lebih dari satu kata. Susunan kata yang lebih dari satu itu
kan tidak berarti bahwa nama kedua itu nama ayahnya. Tapi nama kedua itu masih
nama dia sebagai orang yang satu.
Terlebih lagi bahwa kalau di Indonesia itu
kita sering memanggil seorang istri dengan nama suaminya, seperti Ibu
"Budi". Padahal kita tahu bahwa nama aslinya bukan Budi. Dan itu
semua kan tidak berarti bahwa nasabnya berubah. Tanpa dijelaskan semua tahu
itu.
Jadi ketika ada suatu kebiasaan ('Urf) yang
memang tidak melanggar syariah, justru malah syariah mengakui kebolehan itu.
Dalam kaidah fiqih kita mengenal kaidah [العادة محكمة]"Al-'Aadah Muhakkamah" , yaitu suatu kebiasaan kaum
selama tidak menabrak dinding syariah, keberadaannya diakui oleh syariah.
Wallahua'lam
0 comments:
Post a Comment