Getaran Cinta
Oleh : Raystaycool
Oleh : Raystaycool
Jam 11:30 Cairo local time
(Clt), “Nilai sudah ditempel di papan pengumuman lantai 2” pesan dari grup WA.
Jantung Viki seketika berdetak kencang, ia langsung beranjak dari kasurnya.
Sudah lebih dua minggu ia selalu mengecek WA tiap bangun dari tidur pagi. ‘Akhirnya
penantian inipun berakhir’ gumamnya.
Viki menghidupkan lampu
kamarnya, lalu bersiap-siap. Ia hanya berwhuduk, lalu berangkat. Lantunan doa
dan harapan terus bergema di jiwanya. Dengan itu membuat hatinya tenang. Ia
terus melangkah perlahan, menebar senyum kepada orang-orang yang ia temui.
Metro siang itu terlihat
sepi, ia memilih gerbong tengah kereta dan duduk di sudut kiri dengan nyaman.
Ia membuka galeri smartphonenya. Melihat foto-foto keluarga yang tersimpan.
Keluarga yang telah tiada. Yang tak tau kemana harus merindu. Hanya abangnya
yang tersisa di dunia. Yang tak perlu dirindukan. Mungkin.
Ia menyusuri trotoar
tempat pejalan kaki dengan langkah yang teratur, melihat ke arah depan, sambil
bertanya-tanya, apakah mobil itu kosong? Ia percepat langkahnya menuju salah
satu mobil yang berhenti di depannya, ketika supir memberi isyarat mobilnya
kosong. Viki naik, lalu berdoa. Mobil melaju dengan cepat.
“Ala ghambek yashta
(minggir)” teriak viki kepada supir. Butuh 45 menit perjalanan dari rumah ke
kampus. 40 menit naik Metro. 5 menit naik mobil. Kini gerbang kampus terbuka
lebar untuknya, Viki melangkah masuk menyapa satpam. Hanya senyuman yang ia
punya detik itu. Berikutnya entahlah.
Sekarang di depannya
terpampang selembar kertas pengumuman. Penentuan ia tetap di Cairo atau pulang
kampung. Ia mengecek dengan teliti. Namanya tidak ada. Ia mengecek ulang, namun
masih belum ada. Dan lagi, tak ada juga. Viki segera menelepon temannya yang
juga ikut tes S2.
“. . . . teman, selamat
ya, kamu lulus sedangkan aku tidak. Hari ini juga aku akan memesan tiket pulang
ke Aceh. Kamu dimana?”
“Aku di Masjid al-Azhar.
Kemarilah dulu, Aku tunggu!”
Viki dengan berat hati
meninggalkan selembar kertas pengumuman. Bertanya-tanya, ‘Mengapa aku tidak
lulus ?’
Masjid al-Azhar berada
tepat di samping Kampus, sekitar 100 meter berjalan kali menelusuri trotoar
jalan utama. Setelah memperbaharui wudhuknya, Ia melangkah masuk ke Masjid,
matanya menoleh ke seluruh penjuru mencari posisi temannya. “Assalamu’alaikum”
ucap Viki. Ia merebut tangan temannya, bersalaman, sambil mengambil posisi
duduk yang nyaman.
“Vik, bagaimana kabarmu?”
“Sehat, Kamu bagaimana
Fatih?”
“Tidak penting bagaimana
kabarku. Kamu serius ingin pulang?”
“Iya”
“Kamu sudah mengkhatamkan
al-Quran?”
Hati Viki terkejut,
pertanyaan itu mengingatkan hal yang nyaris ia lupakan “Belum”
“Dengarkan aku. Dua tahun
yang lalu. Tepat disini, di posisi sekarang kita duduk ini. Kamu mengatakan,
‘ber’azam tidak akan pulang sebelum mengkhatamkan hafalan al-Quran. Apa kau
lupa? Tidak lulus untuk melanjutkan S2 bukan berarti kau harus pulang. Banyak
sekali hal yang dapat kamu lakukan di sini sambil menyelesaikan hafalanmu.
Selesaikanlah Vik!”
Viki termenung sesaat
“Bismillah, detik ini aku urungkan niatku untuk pulang”
Fatih hanya tersenyum
sambil dibarengi dengan lantunan azan Ashar yang merdu. Mereka beranjak menuju
shaff depan untuk menunaikan panggilan mulia ini.
Usai Shalat, mereka
berpisah melanjutkan aktivitas masing-masing. Pertemuan ini sedikit mendamaikan
hati Viki. Secercah cahaya kembali terang, yang tadinya hampir padam ditelan
asa. Sekarang Viki ingin pulang, bukan pulang kampung, melainkan ke rumahnya
yang berada di Mathariyah. Ia melambaikan tangannya ke seorang supir angkutan
umum. Mobilnya berhenti dengan kasar di depannya. ‘Dasar! Apa susahnya sedikit
lebih santun’ ucap hatinya. Ia melangkah masuk, menutup pintu, duduk, lalu
tidur.
Viki terbangun dengan
suara alamr yang melengking di samping telinganya. “Astaghfirullah,,” ‘ternyata
hanya mimpi,’ ucap batinnya. Lalu ia mengingat lagi mimpinya, sekali, dua kali,
dan bertanya-tanya, “apa maksud mimpi ini?”.
***
Viki duduk di bangku
kantin berwarna abu-abu, ia dihadapkan dengan meja yang cukup untuk menyandarkan
lurus tangannya. Meja berwarna maron cocok dengan jubah yang ia kenakan. Ia
menikmati suasana sore di Pesantren. Para santri baru saja pulang dari Masjid
setelah melaksankan Shalat Ashar, berdzikir dan membaca al-Quran. Ia
memperhatikan setiap kelakuan mereka. Bagaikan seorang psikolog memperhatikan
pasiennya. Sesekali menerka apa yang dipikirkan santri yang sedang melangkah di
sampingnya. Menebak apa yang sedang mereka bicarakan. Memahami bahasa tubuh
santri yang berdiri di depan asramanya.
Lama Viki berada di situ,
terus termenung. Merasakan hembusan angin sejuk. Mengingat kembali mimpinya
semalam. Mimpi yang dahsyat. Malam yang menakjubkan. Memberikan keputusan yang
fantastis dalam hidupnya.
“Reza, . .” sapa Viki ke
temannya yang lewat.
“Hei Syeikh, ngapain di
situ” Reza menuju ke arah Viki segera. Kakinya seperti bergerak sendiri tanpa
ada yang memintanya. “Bagaimana Syeikh,?”
“Jawaban Zahara tidak,
Reza. Aku sudah ke rumahnya”
“Serius!? Kapan? Apa
alasan dia menolak?” Reza terkejut.
“Lupakan saja, untuk
beberapa saat ini aku tidak ingin membicarakan itu.” suasana hening sesaat, “Dua
minggu terasa begitu panjang bagiku, sepertinya aku harus melanjutkan S3 untuk
menenangkan diri” lagi-lagi sunyi, Viki melanjutkan, “Reza, kamu tahu kenapa
aku pulang, dan tidak melanjutkan S2 di al-Azhar?”
“Tidak, memangnya kenapa?”
“Ketika itu aku sakit, dan
aku harus pulang untuk istirahat. Padahal saat itu aku telah lulus tes
melanjutkan pasca sarjana pada jurusan Fikih Muqaran.”
“Sakit apa?”
“Lupakan juga sakitnya.”
Reza mengangguk-anggukkan kepala seraya menunggu lanjutan cerita Viki.
“Dan semalam aku bermimpi
tentang itu, namun dalam versi yang berbeda. Mimpi itu seakan memanggilku untuk
melanjutkan S3 ke Timur Tengah lagi. Padahal ini sama sekali belum terpikirkan
sebelumnya. Bangun dari mimpi itu, kepalaku seperti mencari-cari negara mana
yang akan ku tuju. Setelah aku shalat, dan bermunajat, jawabannya adalah Sudan”
“Secepat itu kau dapatkan
jawabannya?” Reza tersenyum.
“Iya, bahkan aku langsung
menghubungi temanku di sana, tanya tentang adminitrasi apa yang harus
dilengkapi untuk S3. Dan kebetulan ini sedang masa pendaftaran katanya.”
“Lalu kapan kamu
berangkat?”
“InsyaAllah bulan depan.”
“Hah, serius?”
“Iya, jangan terkejut
seperti itulah” Viki tertawa.
Hari-hari berjalan normal
beberapa hari kedepan. Viki terus melengkapi berkas-berkas untuk pendaftaran
S3. Mengurus Visa dan membeli tiket. Di sekolah juga dia masih tetap mengajar.
Hingga tibalah hari keberangkatannya.
Di bandara kini telah hadir,
keluarganya; abang kandung, paman, tante dan kakeknya. Beberapa teman Viki juga
ikut mengantar. “Reza, Aku berangkat dulu ya.” Ucap Viki datar. “Vik, Aku
curiga, niatmu pasti ingin menyusul Zahara kan?” Reza berbisik di telinganya.
Viki membalasnya dengan senyum “Kau salah tempat bertanya, Za. Tenang, aku akan
menghubungimu.”
Viki pamit sambil
menyalami keluarga besarnya. Juga teman-temannya. Lalu melangkah perlahan masuk
ke dalam.
***
Kota Khartoum terasa
dingin malam itu. Sebelum ke sini, Viki telah mendengar perkataan-perkataan
orang bahwa di Sudan cuma ada dua musim. Musim panas. Dan musim panas sekali.
Ternyata tidak, ia harus memakai jaket tebal sore itu. Menapaki trotoar jalan
keluar dari gerbang Omdurman Islamic University, kampus yang baru satu bulan dijajakinya.
Viki masih ingin
memanjakan matanya dengan suasana malam Kota Karthoum. Sore ini ia ditemani
teman seperjuangan di Cairo dulu, Aulia. Setelah Shalat Maghrib mereka menuju
ke Kak Fried Chicken untuk makan malam. Sebelum keluar mereka meminta pelayan
untuk membungkus empat porsi hendak di bawa pula. Mereka merencakan sesuatu
malam itu.
Sekarang mereka menuju ke
al-Ma’mora. Dengan teliti mereka mencari tempat yang ingin dituju. Dan ketemu.
“Assalamu’alaikum” ucap Aulia di Hpnya. Ia menghubungi teman yang berada di
flat yang berada tepat di depannya.
“Wa’alaikumussalam.”
Jawaban seberang, sedikit kaget.
“Na di rumoh? Lon di likeu
rumoh nyoe.”
“Pu na hai bg?”
“Jeut neu tubit siat. Na
hai perle bacut. Kamoe preh beh.”
Setelah beberapa menit
tampaklah dua sosok berkerudung keluar dari flatnya. Dengan raut penasaran
mereka menuju ke arah Aulia. “Nisa, nyoe na makanan bacut dari kamoe, tulong
neu jok keu Zahara. Neu peugah mantong dari bang Viki.”
Nisa adalah anggota
Keluarga Mahasiswa Aceh bagian Keputrian, yang telah lama mengenal Aulia karena
satu Organisasi di KMA. “Soe bang Viki nyan?”
“Bek le that teumanyoeng
hai, neu peusampo mantong ile” Aulia tertawa kecil.
“Alahai dren, get nyoe
meunan. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Viki yang tadi agak
sedikit kebelakang menyusul Aulia. “Bagaimana?”
“Oke” jawabnya. Mereka pun
pulang ke peraduannya.
Baru saja sampai di rumah.
Viki menerima pesan di Instagram. “Ustadz, antum sedang di mana?” Viki
membacanya berulang-ulang. “Ini sedang di Kharthoum.” Jawabnya singkat.
“Terima kasih makanannya
ya. Ustadz pergi ziarah atau agenda apa ke Sudan?”
“Siiip, Ustadz lanjut S3
di Omdurman.” Jawaban Viki masih singkat.
“Ya Allaaah. Ustadz sudah
lama di sini? Kenapa tidak kabari Zahara?”
Viki tidak tahu ingin
membalas apa. Pesan itu dia abaikan. Lalu Viki merebahkan badannya di kasur
lalu memejamkan mata. Baru saja ia memasuki alam mimpi hpnya berbunyi. Ruhnya
segera kembali ke jasad dengan penuh keterpaksaan. “Assalamu’alaikum, ustadz”
suara Zahara mengalahkan rasa kantuk Viki seketika.
“Wa’alaikumussalam, kamu
apa kabar?”
“Baik, Ustadz bagaimana?”
“Alhamdulillah. Bagaimana
di Sudan?”
“Bagaimana apanya? Ustadz
ni, sudah berapa lama disini, kenapa tidak kabari Zahara?”
“Ada banyak cara untuk
mengabari sesuatu” Viki tersenyum dengan kalimatnya sendiri. “Sudah sebulan.
Gimana urusan kuliah kamu?”
“Lancar, Alhamdulillah.”
Zahara tak tahu ingin berkata apa. Yang ia rasakan hanya rindu. Rindu yang
sulit didefinisikan. Sesulit mendefinisikan cinta.
“Hmm, sudah dulu ya.
InsyaAllah kita bertemu lain waktu. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam” jawab
Zahara lembut.
Viki tertidur pulas malam
itu. Ia terbangun pukul 4 dengan suara alarm populernya, lagu The Night –
Avicii. Sudah dua tahun ia menggunakan lagu itu sebagai alarm. Teman-temannya
yang merasa terganggu dengan lagu alarmnya, heran dan bertanya kepadanya, ‘Aku
sudah mencoba dengan nada yang lain, namun tidak berhasil. Cuma ini yang
berhasil.’ Itu jawabannya. Sedikit masuk akal. Hanya sedikit, tak lebih.
Aktivitas hariannya masih
berputar seperti biasa, membaca, muraja’ah dan menulis. Ke Kampus dan Pustaka.
Sesekali menikmati pemandangan sungai Nil dari depan Universitas Khartoum.
Namun mulai minggu ini ada hal baru yang masuk dalam agendanya. Dalam sebulan
sekali, ia Mengunjungi rumah Zahara. Iya. Rumahnya.
Bulan selanjutnya, masih
di temani Aulia. Viki mengantarkan makanan yang berbeda ke rumah Zahara. Kali
ini Viki langsung yang menunggu di pintu gerbang apartemen. Begitu pula Zahara.
Ia bersama kakak kelasnya, berdua menemui Viki yang menunggu di gerbang.
“Ustadz, tidak usah repot-repot.”
“Jangan panggil ustadz
lagi donk, Ana bukan guru disini.” Ucap Viki dengan nada bercanda.
“Terus bagaimana?”
“Terserah Zahara saja, ini
ambil” Viki menyerahkan bungkusan di tangannya kepada Zahara. “Kita sesama
orang Aceh di rantau harus saling berbagi jika ada kemudahan, koen meunan kak?”
tanya Viki pada Nisa yang berada dua langkah di belakang Zahara. Tanpa menunggu
jawaban dari belakang. Viki pun pamit.
Bulan-bulan berikutnya
sama, banyak hal yang Viki hadiahkan kepada Zahara. Hingga pada suatu malam,
Viki mengantar hadiah spesial untuk Zahara, di hari ulang tahunnya. Mengetahui
itu, Zahara sejenak membisu, “Ustadz, maksud hadiah ini apa?”. Viki hanya
tersenyum “Dengan menerimanya, kamu telah menolongku.”
Malam itu, Zahara merasa
tak nyaman diperlakukan demikian. Ia mengutarakan semuanya kepada kak Nisa.
“Bagaimana ini kak? Nisa jadi tidak enak” “Jawaban kamu gimana?” tanya kak
Nisa. “Maksud kakak?” “Sekarang, Kamu sudah bisa menerima bang Viki?” Zahara
berfikir sebelum menjawabnya, “Zahara masih belum bisa jawab kak.”
Bulan-bulan terus berlalu,
hanya saja berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya. Kini tak ada lagi sosok yang
menanti Zahara di pintu gerbang setiap pertengahan bulan. Seakan-akan agenda
Viki mengunjungi Zahara sebulan sekali telah terhapus dalam plan-nya.
Zahara merasakan keganjilan ini, bertanya-tanya dalam hatinya ‘bang Viki
dimana?’
Di sudut yang lain, Viki
dengan tiga temannya sedang duduk di sebuah Kafe. Mereka bercengkrama santai.
Disela-sela itu, Aulia berkata, “Vik, aku boleh tanya?” “Silahkan” “Kenapa
mesti Zahara?” Viki terdiam. Ia heran, kenapa temannya bertanya demikian.
“Aulia, maaf! Kalau itu, Aku tidak bisa menjawabnya dengan kata-kata, karena kata-kata
hanyalah perantara. Yang memunculkan ketertarikan seseorang dengan orang lain
adalah unsur kesesuaian, bukan kata-kata” begitu jawab Viki. Dua temannya
mengangguk, tidak dengan Aulia, ia terus bertanya “Tapi kamu telah menolak
beberapa wanita yang orang-orang tawarkan kepadamu.”
“Kawan, seharusnya aku
tidak perlu menceritakan ini, . . . di masa Qaisy alias Majnun hidup, banyak
wanita cantik saat itu, tapi apa? pandangan Majnun hanya tertuju pada Laila.
Bahkan sampai-sampai seorang Raja memperlihatkan wanita-wanita cantik di
hadapannya lalu berkata ‘Angkat kepalamu dan lihatlah!’ Namun lihat apa yang
Majnun lakukan. Ia menjawab, ‘Aku takut. Rinduku kepada Laila bagaikan pedang
terhunus. Jika aku angkat kepalaku, pedang itu akan memenggal leherku’ Semua
perempuan yang ada di hadapannya sama-sama memiliki mata, bibir, dan hidung.
Lalu apa yang ia lihat pada Laila hingga membuatnya terjatuh dalam kondisi
seperti itu?”
“Oke, lalu apa yang kamu
harapkan dari semua ini, Vik?” tanya temannya yang lain. “Tolong doakan saja
aku, agar tidak gila seperti Majnun,” senyuman mekar dibibirnya.
***
Zahara terus mencari-cari
sosok Viki. Sudah tiga bulan ia tidak melihatnya di pintu gerbang. Zahara belum
berani mengiriminya pesan.
Siang itu, Zahara dan kak
Nisa sedang beri’tikaf di sisi tengah Masjid Khartoum sambil membaca kitab.
Keduanya disibukkkan dengan bacaannya masing-masing. Di tengah kesibukankan,
Zahara tak sengaja menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati Viki berada di
sana. ‘Apakah ia sedang bermimpi?’ benaknya berkata. ‘Tidak, itu memang Viki.’ Di
ujung sana, Viki terus melangkah, memasuki bagian depan Masjid, lalu shalat.
Kini jaraknya sekitar 40 meter dari Zahara.
Selesai shalat Zahara
melihatnya membaca al-Quran. Khusyu’ sekali. Pandangan Zahara tersita sejenak
melihat Viki. Lalu ia mengiriminya pesan,
‘Ustadz dimana?’
‘Ini sedang bareng teman
di Kafe,’ seketika balasan Viki mendarat di Hpnya.
‘Jangan bohong! Zahara di
shaf belakang, sedang lihat ustadz ngaji di shaf depan.’
Zahara melihat Viki sedang
menoleh ke belakang, mencari-cari sosoknya. Lalu ia bangkit. Sepertinya Viki
sudah menemukan titik koordinat Zahara. Dengan perasaan malu, Ia bangkit dari
duduknya dan menuju mendekati posisi Zahara.
Setelah salam Zahara
tersenyum, “Kenapa mesti bohong?”
“Maaf, ana khilaf,” hanya
itu kata yang layak ia utarakan, “Zahara, ana ingin sampaikan sesuatu. Boleh
Ana ke rumahmu malam lusa?”
“Lusa? Sendirian?”
“Iya, setelah Isya,
bersama teman.”
“Boleh,” jawabnya setelah
mendapat persetujuan dari kak Nisa.
“Sampai bertemu lusa,”
Viki berlalu begitu saja meninggalkan mereka dan keluar dari Masjid.
Malam yang dinanti pun
tiba, tepat pukul 9, Viki mengabari Zahara bahwa dia sudah di gerbang. Zahara
mempersilahkannya masuk ke rumah. Viki bertiga dengan kawannya pun masuk.
Zahara menghidangkan
mereka kue dan minuman. Setelah menyantapnya sedikit, Viki mulai berbicara, “Zahara,
maksud kunjungan ini, masih seperti biasa. Ada hadiah yang ingin Ana berikan.
Seketika wajah Zahara berubah, antara kesal dan gelisah, sambil menunggu
susunan kalimat Viki berikutnya.
“Begini, Ana akan pulang
ke Aceh bulan depan, dan ana sudah membeli dua tiket. Yang satunya untuk
Zahara. Ini tiketnya.” Viki meletakkan tiket atas nama Zahara tepat di
depannya. Tangannya sedikit bergetar. “Kalau Zahara menolaknya, berarti tiket
itu akan hangus. Namun kalau Zahara menerimanya, berarti kita akan pulang bersama
untuk menikah.” Ketika itu atmosfit ruangan berguncang. Selanjutnya suasana
hening. Teman-teman Viki tertunduk menyandarkan dagunya ke tangan yang di
tegakkan. Begitu juga dengan Nisa, ia kaget, terlihat dari raut wajahnya. Lalu
menoleh ke Zahara. Memandangnya. Pandangan Zahara fokus ke arah tiket di
hadapannya. Ia membaca tulisan yang tertera di lembaran itu. Terdiam, membisu.
Keheningan terus
berlanjut. Beberapa detik berikutnya Viki berbicara, “Semoga Zahara berkenan. Kami
izin pulang dulu ya. Assalamu’alaikum.” Dengan langkah perlahan mereka
meninggalkan rumah Zahara. Malam itu penuh gelora. Nalar insan mengalahkan
hati. Karena hati memiliki nalarnya sendiri, sedangkan nalar tidak memiliki
hati. Semalam, dua malam, Viki tidak mendapat kabar apa pun dari Zahara. Ia
masih menunggu dan terus menunggu jawaban darinya. Hingga setelah dua minggu
berlalu, Viki mendapatkan pesan.
“Assalamu’alaikum, maaf
ustadz telah membuat lama menunggu. Selama dua minggu ini, ana istikharah,
memohon petunjuk Allah. Dan jawabannya."
'Jawabannya apa?' Viki penasaran. Pesannya tidak diselesaikan. Ia segera menelpon Zahara. Ketika keduanya telah terhubung melalui saluran telepon, Viki bertanya "Jawabannya apa Zahara?"
"Tidak semua pertanyaan itu butuh jawaban." Jawaban dari seberang.
"Tapi, aku ingin mendengar langsung jawaban itu dari mulutmu, Zahara!"
Beberapa waktu sunyi, sampai Viki mendapatkan jawaban terindah, "Zahara bersedia menerima tiket itu.” Suaranya lembut, begitu halus. Layaknya suara burung bul-bul yang digambarkan oleh penyair al-Asyma'i dari karya fenomenalnya, syair bul-buly. Dan tak ada lagi kata yang terucap setelah itu.
'Jawabannya apa?' Viki penasaran. Pesannya tidak diselesaikan. Ia segera menelpon Zahara. Ketika keduanya telah terhubung melalui saluran telepon, Viki bertanya "Jawabannya apa Zahara?"
"Tidak semua pertanyaan itu butuh jawaban." Jawaban dari seberang.
"Tapi, aku ingin mendengar langsung jawaban itu dari mulutmu, Zahara!"
Beberapa waktu sunyi, sampai Viki mendapatkan jawaban terindah, "Zahara bersedia menerima tiket itu.” Suaranya lembut, begitu halus. Layaknya suara burung bul-bul yang digambarkan oleh penyair al-Asyma'i dari karya fenomenalnya, syair bul-buly. Dan tak ada lagi kata yang terucap setelah itu.
0 comments:
Post a Comment