Powered by Blogger.

Hujan Petang Itu Nikmat

Kisah Inspiratif - Viki sedang berdiri tegak menunggu antrian di dapur umum sebuah Pesantren. Kini, tahun ketiga ia berada dalam pekarangan ini, yang orang-orang menyebutnya ‘Penjara Suci’. Namun tidak bagi Viki, menurutnya ini istana. Tak tahu kenapa? Ia sangat mencintai suasananya, lingkungannya, dan segala hal. Viki menyodorkan piring ke lubang berukuran persegi dengan panjang satu meter dan tinggi tigapuluh sentimeter, tepat di depan petugas dapur yang sedang membagikan menu makan siang.

“Vik, tunggu ya!” terdengar suara teriakan dari belakang, kala ia ingin beranjak pergi. Viki segera menoleh kebelakang, mencari asal suara. “Oh Afdhal, Oke”. Afdhal adalah teman akrab Viki. Mereka tinggal satu kamar selama dua tahun. Di kelas tiga ini, mereka tidak lagi sekamar, namun masih satu kelas pada jam sekolah formal.

Viki menunggu Afdhal sambil duduk di sebuah bangku yang menghadap ke Mushalla. Jarak antara Mushalla dengan dapur sekitar duapuluh langkah. Setidaknya aktivitas dalam Mushalla dapat diketahui oleh orang-orang yang berada di bagian depan dapur umum. Begitu pula sebaliknya, orang di dalam Mushalla dapat mencium aroma masakan yang sedang diracik oleh para koki. Hal ini menjadi godaan tersendiri bagi Jamaah shalat, terumat ketika shalat Dhuhur. Bisa-bisa, aroma masakan membuat shalat para jamaah terganggu, dan ingin cepat-cepat menyantapnya.

Namun tidak dengan seorang lelaki. Ia selalu duduk di bagian tengah Mushalla, ketika jamaah yang lain mulai keluar. Memegang Mushaf dengan kedua tangannya. Bibirnya terlihat komat-kamit begitu cepat. Badannya goyang kedepan lalu kebelakang, seperti burung yang sedang mematuk. Sesekali ia memejamkan matanya, dan kadang-kadang mushafnya ia tempelkan ke jidadnya. Itulah pemandangan yang dilihat oleh Viki dan Afdhal ketika berjalan melewati sisi depan Mushalla menuju ke asrama Ibnu Sina.

Asrama Ibnu sina berada di sisi kiri Mushalla. Sama halnya dengan dapur. Sama-sama dekat, dan sama-sama dapat mendeteksi aktivitas di dalamnya. Viki tinggal di kamar sebelas di lantai dua, bertetangga dengan Afdhal. Dari depan kamarnya, Ia dapat melihat orang-orang di Mushalla. Dan lagi-lagi selesai makan dan hendak mencuci piring, ia masih melihat santri itu sibuk dengan Mushaf. Selesai mencuci piring di kamar mandi, ia juga masih melihatnya. Namun kali ini posisinya telah berubah. Lelaki itu sedang berdiri. Tangannya terlipat di bagian dadanya. ‘Dia mengulang hafalan al-Quran dalam shalatnya’, Viki menerka-nerka.

“Vik, sudah ada hafalan untuk malam ini?” Pertanyaan Afdhal mengejukkan Viki yang tadi melamun, ketika memandang dalam-dalam lelaki tersebut, kakak kelasnya.
“Baru setengah halaman, nanti sore sambung lagi” jawabnya. Ia diam sejenak. “Dhal, lihatlah akhi Anis di Mushalla! Dari tadi dia tidak bergeser dari posisinya.”

“Ia, setiap hari seperti itu, dia sering muraja’ah al-Quran dalam Shalat Sunnah, jadi Shalat Sunnahnya itu sampai sejam lamanya.” Afdhal menjelaskan dengan detail, seakan sudah sangat mengenalnya. “Aku dengar, akhi Anis akan ujian 30 Juz malam selasa ini dengan Ustadz Yusuf”
“Wah, sudah khatam?”
“Iya, kau tidak tahu, Vik?!”
Viki menggeleng.
“Sudah setahun aku melihat aktivitas rutinnya. Setiap siang. Bahkan aku heran, apa dia tidak makan siang?” ucap Afdhal
“Aku ingin seperti dia, Dhal”
“Aku juga, tapi . . .”
“Tidak ada tapi-tapi,” Viki memotong ucapan Afdhal. “Harus Dhal, Harus!”

***

Hujan petang itu baru saja reda. Angin menghembuskan rintikan-rintikan halusnya hingga menyebar di udara. Sesekali tetesan itu hinggap di dedaunan, di pagar, dinding, bahkan berlabuh di pori-pori kulit manusia. Kebetulan manusia itu adalah Afdhal. “Cuacanya dingin sekali, Vik” ucapnya sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Mereka baru saja keluar dari Masjid usai melaksanakan Shalat Maghrib, lalu menuju ke kelas.

Para santri sudah berkumpul di kelas. Jumlah mereka duapuluh orang. Semuanya sibuk dengan hafalannya masing-masing. Sebagian saling berhadapan, memperdengarkan hafalannya ke teman, sebelum pada akhirnya mereka perdengarkan ke Ustadz.

Lama mereka menunggu, ustadz tak kunjung datang. Mereka terus menunggu, tak juga muncul. Sampai azan Isya berkumandang, barulah datang seseorang dengan muka yang sedikit lesu, - ‘Akhi Anis’ batin Viki berkata – lalu mengabarkan bahwa ustadz tidak dapat hadir. Karena kecelakaan. “Innalillahi” serentak para santri mengucapkannya.

“Sekarang kalian sudah boleh pulang” lanjut Anis kepada para santri.
“Sekarang ustadz Yusuf dimana, khi?” tanya Afdhal.
“Beliau sedang di Rumah Sakit, di Kota. Sebentar lagi ustadz-ustadz dan beberapa senior akan kesana. Kalian bantu dengan doa saja ya”
“Baik, Akhi” kata Afdhal.

Sejak malam itu, kelas tahfidz mereka dinon-aktifkan. Kecelakaan yang menimpa ustadz Yusuf membuat beliau harus beristirahat selama dua bulan di kampung halamannya. Sungguh kabar ini membuat Viki dan teman-temannya bersedih. Pertama, karena ini adalah musibah, dan kedua, ini artinya hafalan mereka untuk sementara berjalan ditempat.

Kelas tahfidz biasanya digelar seminggu tiga kali, selasa, kamis, dan sabtu. Sekarang, tiga malam itu mereka libur. Hingga, hari berselang hari semangat menghafal mereka menurun. Karena kata orang, sesuatu kebiasaan, jika mulai ditinggalkan, lama-lama akan hilang kebiasaan itu. Bahkan hafalan yang telah ada bisa hilang.

“Dhal, Akhi Anis sudah ujian?” Tanya Viki pada Aris yang sedang membaca Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wick.
“Sepertinya belum, kan ustadz Yusuf masih belum sehat.”
“Hmm, ,” Seperti ada suatu hal yang terbesit di hati Viki saat itu. “Kamu sudah ada tambahan berapa lembar selama sebulan ini?”
“Tidak ada, Vik”
“Lah, kok bisa?” Viki heran.
“Faktor keadaan, jadi kurang semangat gitu”
“Semangat itu dicari, jangan di tunggu, Dhal. Ini, asyik saja baca Novel!” cetus Viki sambil meninggalkannya.
“Vik, kamu mau kemana?”
“Ke Mushalla, mau menghafal.”

Viki terus melangkahkan kaki menuruni tangga, menyusuri tanah yang tak berumput, jalan setapak dari asramanya ke Mushalla. Jam dinding Mushalla sudah menunjukkan pukul 21:00. Ia duduk tepat di posisi duduknya akhi Anis menghafal dan murajaah al-Quran. “Bismillah, Ya Allah, mudahkanlah aku untuk Istiqamah dalam menghafal al-Quran. Amiin.”

Viki melanjutkan hafalan juz empatnya. Membaca berkali-kali. Lalu menghafal baris demi baris, ayat demi ayat. Sangat fokus. Baru kali ini dia begitu fokus. Dan Alhamdulillah dalam setengah jam dia sudah menghafal satu halaman. Ini adalah pencapaiannya yang luar biasa dari yang sudah-sudah.

Lalu ia berfikir. ‘Jika satu halaman dapat menghafalnya dalam setengah jam. Berarti dalam 5 jam bisa 10 halaman. Setengah Juz?’ dia terus menghitung, sambil merencanakan target hariannya. Ketika jam menunjukkan pukul 22:00 ia pun kembali ke kamar untuk beristirahat.

Ia menyimpan Mushafnya lalu berbaring di atas kasur. Menutup mata, membaca doa. Suasana gelap, sunyi. Tapi tidak dengan pikirannya, hatinya. Ia masih mengingat target hariannya yang akan ia mulai besok. InsyaAllah dia akan menghafal sehari lima jam dan jika tercapai target, berarti sehari dia bisa menghafal setengah Juz.

“Qum, qum, qum” teriak temannya membangunkan personil yang lain. Viki tidak tahu, apakah dia tidur atau tidak? Begitu bersemangatnya, sampai-sampai dia tidak sadar. Ia segera bangun, bersiap-siap ke Mushalla untuk shalat Fajar, lalu shalat Subuh. Teman yang lainnya juga berbondong-bondong pergi ke Mushalla.

Wajah Viki masih terlihat bahagia, dia menggenggam erat Mushafnya. ‘Aku akan memulainya’ lagi-lagi pikirannya berbicara. Namun bukan hanya kata-kata tanpa bukti. Ia langsung mengimplemetasikan rencananya. Ketika orang-orang mulai meninggalkan Mushalla, dia menyempatkan diri 10 menit untuk menghafal, baru setelah itu bersiap-siap ke Sekolah. Saat istirahat begitu juga, usai shalat Dhuha, dia sempatkan 5 menit untuk menghafal. Siang harinya tak kurang, ia beri waktu untuk menghafal satu jam setengah. Sore. Malam. Terus begitu. Lima jam sehari. Aktivitasnya berubah drastis. Dan itu bukan hanya dia yang merasakannya. Bahkan teman-temannya juga, terutama Afdhal.

Afdhal kini melihat Viki sering di Mushalla. Ketika yang lain sedang berada di dapur, Ia di Mushalla. Ketika yang lain sedang berolahraga, ia di Mushalla. Detik berselang detik, hari berlanjut hari, rutinitasnya tetap sama. Lima jam bersama al-Quran.

Pada suatu sore, usai shalat Ashar. Afdhal menyapa Viki yang sedang asyik bersama al-Quran. Sore itu genap dua kelas tahfidz mereka libur. Dalam dua bulan itu pula, Viki sibuk dengan rutinitas barunya. Semenjak itu afdhal sudah jarang bertemu Viki di luar kelas. Dan ini adalah kesempatan yang bagus untuk Afdhal bertama. Selama ini Afdhal dan teman-temannya bertanya-tanya jumlah Juz yang sudah Viki hafal.

“Hari ini sudah berapa lembar kamu hafal, Vik?”
“Dari pagi?”
“Yup, 6 halaman, Alhamdulillah”
“Serius?! Cepat sekali kamu hafalnya, sekarang sudah Juz berapa?”
“Sudah Juz 26, Vik”
“Haah! Juz 26?!” lagi-lagi Afdhal terkejut, “Lancar?”
“Hafalan baru lancar, kalau hafalan kemarin lusa, tidak begitu lancar”

Afdhal masih kaget. Raut wajahnya tak biasa. “Aku tes boleh?” pinta Afdhal. “Boleh, Hafalan yang baru ya, Juz 23 sampai 26.” Afdhal merebut Mushaf dari tangan Viki, membukanya acak, lalu membacakan potongan ayat. Langsung saja Viki menyambung bacaan tersebut. Satu kali, berhasil ia jawab. Pertanyaan kedua dan ketiga juga bisa dijawab. Raut wajah Afdhal mulai mekar, salut dengan pencapaian temannya. “Bagaimana kau melakukannya ini?”

“Istiqamah kuncinya.” Viki senyum. “Bagaimana kabar ustadz Yusuf?” sambungnya.
“Kata akhi Anis, sudah mulai membaik. Dua minggu lagi insyaAllah sudah bisa mengajar lagi.”
“Alhamdulillah”

***
Viki, Afdhal, dan para santri yang lain telah berkumpul di dalam kelas. Berhubung ustadz Yusuf telah pulih, kelas tahfidz kembali aktif. Beberapa menit kemudian, masuklah Ustadz ke kelas. Ustadz Yusuf memulai kelas dengan bincang-bincang santai, setelah beberapa menit, perbincangan pun sampai ke inti, “Ada penambahan berapa Juz selama libur ini?” Semuanya terdiam, menunduk kaku. “Alhamdulillah ada yang khatam Ustadz.” Sahut salah seorang santri, yang juga mengetahui kabar bahwa Viki telah menyelesaikan hafalannya.

“Siapa?”
“Viki, Ustadz”
“Mana Viki?” Ustadz melirik ke kiri lalu ke kanan.
Viki mengangkat tangan, “Hadir, Ustadz”
“Baik, besok pagi setelah Subuh, jumpai saya di rumah ya.”
“Baik, Ustadz.” Viki mengangguk.

Tujuan ustadz memanggil Viki. Ingin memastikan apakah benar ia telah menyelesaikan hafalannya? Selesai Shalat Subuh, Viki langsung ke rumah Ustadz Yusuf. Sampai di sana, Ustadz bertanya beberapa soal kepada Viki, namun jawabannya banyak yang salah. Wajar saja, ia belum murajaah secara sempurna. Lalu Ustadz memintanya dalam sebulan ini menyetor hafalan kepada Beliau. Dan bulan depan akan ujian sekalian dengan Anis.

Mendengar berita ini. Viki jadi terharu. Ia tak pernah membayangkan akan ujian berbarengan dengan sosok yang secara tidak langsung telah memotivasinya untuk tekun dalam menghafal. Ia langsung mengabari Afdhal, yang sedang berada di depan kamarnya di lantai dua. “Afdhal, kamu masih ingat? Ketika aku mengatakan ‘Aku ingin seperti dia (akhi Anis),’ tepat di sini. Iya. Disini. Sungguh kata-kata itu terwujud. Ustadz Yusuf memintaku muraja’ah hafalan dengan baik dan bulan depan akan ujian bareng dengan akhi Anis”
“Benarkah? MasyaAllah. Semoga aku bisa mengikuti jejakmu, kawan.”
“Tentu bisa” jawab Viki sambil tersenyum.

Viki teringat satu pesan kala itu. Sebuah hadits. ‘Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu lebih patut, agar kamu tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.’ Hadits yang ia pelajari di kelas satu dulu begitu membekas di benaknya. Gurunya pernah menjelaskan, “Kita jangan melihat ke atas terhadap nikmat lebih berupa materi yang orang lain dapatkan, terhadap harta banyak yang dimiliki oleh orang. Namun dalam segi ilmu, dan segi keta’atan, kita dianjurkan untuk melihat ke atas, sehingga dapat memotivasi diri untuk menjadi ‘alim seperti dia, shalih seperti dia. Atau menjadi lebih baik dari orang tersebut.”

 

0 comments:

Post a Comment