Kisah Nabi Idris AS
Kisah Nabi Idris AS - Dalam bahasa
Arab, nama Idris berasal dari kata adrasa yang berarti “mendapatkan
dan memberikan pelajaran”. Nama itu diberikan kepadanya karena dia dikenal
cerdas dan lihai dalam memberikan pelajaran (dalam berdakwah) kepada orang
lain. Menurut pengarang kitab Qasas al-Anbiya (hal. 60), nama
itu diberikan karena Idris banyak mempelajari isi suhuf-suhuf Syits dan
Adam. Nabi Idris pun dikenal sebagai manusia pertama yang pandai menulis
dengan pena. Dia pula manusia pertama yang menguasai ilmu atsronomi dan
matematika. Bukan hanya itu, Idris pun ahli dalam membuat mode
pakaian. Kepandaian dalam bidang arsitek bangunan dan penguasaan beragam
bahasa pun dimilikinya.
Sejak kecil
Idris sudah terbiasa mempelajari suhuf Nabi Syits dan Adam. Menginjak remaja,
dia terbiasa mendampingi Nabi Syits berdakwah. Nabi Idris diangkat
menjadi Nabi dalam usia 82 tahun dan dia merupakan keturunan keenam dari
Nabi Adam.
Setelah diangkat
menjadi Nabi, Idris menerima perintah Allah yang termaktub dalam 30 sahifah.
Nabi Idris juga dikenal sebagai pejuang pemberani sehingga dia dijuluki Asadul
Asad (Rajanya para singa). Nabi Idris tidak pernah mengenal lelah
dan pantang menyerah di dalam memberantas segala tindak kezaliman dan
kekafiran.
Seperti
pendahulunya, perjuangan Nabi Idris pun tidak selalu mulus. Rintangan dan
tantangan selalu menyertai perjuanganya. Karena itu, walaupun telah
berdakwah selama puluhan tahun, dia hanya memperoleh pengikut beberapa
gelintir saja.
Kematian Sejenak
Suatu hari, Nabi
Idris kedatangan tamu istimewa, yaitu Malaikat ‘Izrail pencabut nyawa. Untuk
sementara waktu, Nabi Idris sempat gemetar sebab dia menyangka bahwa sang
malaikat diutus oleh Allah untuk menjemput nyawanya. Namun sang nabi segera
tenang setelah sang malaikat maut menerangkan bahwa kedatangannya hanyalah
untuk bersilaturrahmi.
Nabi Idris
memiliki tingkat kepenasaran dan rasa ingin tahu (curiousity) yang sangat
tinggi. Itu sebabnya dia dikenal berilmu luas dan sangat cerdas. Kali ini, dia
penasaran ingin merasakan sendiri kematian. Namun dia belum siap untuk
meninggalkan dunia ini selamanya.
Nabi Idris
memohon kepada malaikat maut untuk mencabut nyawanya barang sejenak dan kemyudian
mengembalikannya lagi ke dalam jasadnya. Setelah meminta izin dari Allah,
malaikat maut pun mengabulkan permohonan Nabi Idris. Sang Nabi mengalami
kematian. Tidak lama kemudian, dia hidup lagi. Setelah hidup kembali, malaikat
maut menanyakan kepada sang nabi tentang bagaimana rasanya kematian itu. Nabi
Idris menjawab bahwa tatkala malaikat maut mencabut nyawanya, apa yang
dirasakan hanyalah pelepasan yang menyenangkan. Malaikat maut menjelaskan
bahwa perasaan itu hanya dirasakan oleh hamba Allah yang saleh. Bagi hamba
Allah yang jahat, kematian merupakan peristiwa yang sakitnya tak terperikan.
Tiada kata
mupakat tentang apakah Nabi Idris itu mengalami kematian sejati, mati suri atau
mati apa. Namun bila cerita ini dikaitkan dengan bidang pengajaran, kita akan
lebih mudah memahaminya.
Dalam konteks
belajar-mengajar, menguasai pelajaran (ilmu) baru dapat diibaratkan sebagai
mengalami kehidupan baru. Melupakan pelajaran lama dapat diibaratkan sebagai
usaha “mematikan” memori untuk sementara waktu. Memang tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa untuk dapat menguasai pelajaran baru, maka seorang
pelajar dituntut untuk mematikan dulu memorinya tentang pelajaran lama
(sebelumnya) supaya pikirannya terkonsentrasi pada pelajaran baru. Dengan
demikian, masih dalam konteks ini, boleh jadi bahwa apa yang diceritakan di
atas hanyalah merupakan kiasan.
0 comments:
Post a Comment